Selasa, 26 Mei 2009

Resume

Judul buku : Pembodohan Siswa Tersistematis

Pengarang : M. Joko Susilo

Halaman buku : 239

Tahun buku : 2007

PEMBODOHAN SISWA TERSISTEMATIS

Realita pendidikan kita

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan,kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa dimata dunia internasional. Sebagaimana pernah diungkapkan Daoed Joesoef tentang betapa pentingnya pendidikan:” pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik,yang sesuai dengan martabat manusia,”. Pendidikan akan terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak Sumber Daya Manusia(SDM) yang berkualitas (baik dari segi spiritual,intelegensi,dan skill). Untuk itu,perlu diusahakan peningkatan mutu pendidikan, supaya bangsa kita tidak tergantung pada status bnagsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju dan tidak kalah bersaing dengan bangsa Eropa.

Telah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh factor pendidikan. Kita lihat saja,Negara yang terkuat yaitu Amerika. Mereka tidak akan bisa menjadi bangsa yang ditakuti dunia bila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan kita. Contoh lain Negara Jepang yang bisa menjadi Negara berteknologi tinggi. Mengapa Jepang bisa menjadi Negara yang berteknologi tinggi? Sedangkan kita hanya bisa berkutat dalam penggunaan teknologi. Jepang adalah Negara yang menghargai pendidikan,mendahulukan kepentingan pendidikan dari pada kepentingan yang lainnya, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan. Sedangkan Negara kita hanya sibuk membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi perhatian yang kesekian, belum lagi masalah bencana alam yang sering melanda bumi Indonesia seperti banjir,kebakaran hutan,gempa bumi,gunung meletus,dan lain sebagainya dapat menyebabkan beban biaya yang sangat besar bagi Indonesia.

Masalah pendidikan diIndonesia tidak pernah habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli dengan pendidikan Indonesia. Pendidikan di Indonesia belum mampu menjawab kebuntuan problem yang dihadapi masyarakat. Bisa dikatakan pendidikan sudah jauh melenceng dari hakikat pendidikan yang sebenarnya dan sama sekali tidak sesuai dengan yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Berdasar pada salah satu tulisan di Kedaulatan Rakyat 2 Mei 2006 disebutkan bahwa dari tahun ke tahun mutu pendidikan Indonesia selalu memempati urutan kesekian ratus dari ratusan Negara yang disurvei. Misalkan pada tahun 2003, mutu pendidika Negara kita menurut hasil penelitian Human Development Index(HDI) pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara, sungguh hasil yang menyayat hati, karena Malaysia yang pada era 50-an mengimport guru dari Negara kita tercinta ini memempati urutan ke-58.kenapa bukan kita? Sedangkan Negara tetangga kita singapura mampu menempati urutan ke-28, padahal Singapura mencontoh konsep pendidikan yag diidekan oleh Ki Hajar Dewantara. Mungkin orang Singapura akan tertawa ketika ditanyai oleh oleh orang Indonesia mengapa mereka bisa maju dalam pendidikan? Bagaimana tidak orang Indonesia sendiri yang mencetus konsep pendidikan yang ditiru oleh mereka bisa terkalahkan

Tripusat pendidikan yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan dilembaga pendidikan, pendidikan dimasyarakat, dan pendidikan dikeluarga. Di Indonesia, konsep tripusat pendidikan hanya sekedar konsep yang seakan-akan di jalankan.lebih tepatnya, Indonesia hanya menerapkan tunggal pusat pendidikan yaitu pendidikan dilembaga(sekolah). Sekolah adalah satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Sedangkan keluarga dan masyarakat hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka disekolah, sehingga terkesan lepas tangan dari pendidikan anak mereka. Yang terpenting bagi mereka adalah anaknya bisa mendapatkan serifikat(ijazah) sebagai bukti kelulusan dengan nilai-nilai yang sempurna. Dan ketika anaknya gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah.

Orang miskin dilarang sekolah….

Benarkah orang miskin dilarang sekolah? Bila melihat realita pendidikan Negara kita pernyataan tersebut memang tersirat dengan adanya biaya pendidikan yang semakin melangit. Bukan hanya dilembaga pendidikan swasta, universitas negeri-pun berlomba-lomba menaiikan biaya pendidikannya. Apalagi dengan adanya otonomi kampus, biaya pendidikan menjadi mengerikan. Pada tahun ajaran 2005-2006, biaya pendidikan diperguruan tinggi, maupun swasta naik 5-10% per semester. Peningkatan biaya operasional perguruan tinggi tersebut akibat dari kenaikan BBM dan tingginya angka inflasi(kedaulatan rakyat,27 april 2006).

Pendidikan mahal memang wajar karena mengutamakan kualitas dengan memberikan sarana dan prasarana yang bagus. Tetapi pendidikan mahal hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu membayar. Sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi orang miskin mewujudkan cita-citanya.

Pendidikan dengan biaya yang sangat tinggi mengakibatkan warga masyarakat yang ingin mengikuti pendidikan mengalami kesulitan,sehingga pendidikan nasional belum dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Pendidikan yang berkualitas dan tinggi hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki akses ekonomi dan politik yang cukup tinggi. Sedangkan orang miskin walaupun anak-anaknya pintar dan cerdas luar biasa hanya mampu berangan-angan.

Seharusnya biaya pendidikan semakin menurun karena anggaran pendidikan regional yang sebelumnya 8% naik menjadi 20%.namun anggaran tersebut hanya kebohongan belaka untuk membodohi masyarakat, realita pada tahun 2003 anggaran tersebut tidak lebih dari 4%. Lantas dikemanakan 16%nya? Pada tahun 2006, anggara pendidikan nasional hanya 9,1% , sehingga membuat PGRI menggugat pemerintah untuk segara menaikkan anggara tersebut sekurang-kurangnya 20% seperti yang telah dijanjikan dalam UU. Pemerintah harus segara bertindak untuk kebaikan bangsa, jangan menunggu teriakan dari masyarakat serta harus benar-benar memperhatikan nasib pendidikan rakyat yang kurang mampu sehingga slogan “rakyat miskin dilarang sekolah “ tidak menjadi opini ditengah-tengah bangsa ini.

Mengapa harus bayar??????

Mau masuk sekolah harus bayar uang pembangunan, kemudian membeli baju seragam, membeli sepatu. Menbeli buku, bayar spp, dan lain sebagainnya. Kapan semuanya bisa gratis? Di saat sang anak tertawa riang karena menjadi anak sekolahan, sang ayah akan tertunduk lemas dengan tangan menopang dagunya. Mungkin sang ayah berfikir apa yang akan dijual untuk membelikan sang anak baju seragam, sepatu, tas, buku, dan membayar bermacam-macam sumbangan. Mungkin berfikir juga bagaimana caranya supaya sang anak tidak usah sekolah saja, tetapi sang ayah tidak sampai hati melihat anaknya sedih hanya karena tidak bisa bersekolah.

Sebegitu berat-kah beban yang harus ditanggung oleh siswa-siswa tersebut untuk mendapatkan pendidikan? Mungkin ada benarnya sebuah slogan mengatakan “ mau pintar… ya bayar “. Ini bayar, itu bayar mengapa harus bayar? Bagi orang kaya masalah bayar membayar terlalu gampang. Tapi bagaimana bagi mereka yang sangat susah mencari sesuap nasi?

Tidak usah muluk-muluk untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam hal pendidikan, memberikan seragam sekolah, dan buku pelajaran secara gratis mungkin semua itu sudah lebih dari cukup. Pada tahun 2006, pemerintah mengalokasikan dana 800 milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara( APBN) untuk menyediakan buku teks pelajaran melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS) khusus untuk siswa SD dan SLTP didaerah terpencil dan tertinggal di 12 propinsi. Andaikan pemerintah menggratiskan pendidikan SD dan SMP (Wajib belajar 9 tahun), mungkin tidak ada lagi penduduk Indonesia yang terjerat dengan kebodohan akibat kemiskinan. Bagaimana caranya supaya gratis tidak hanya dijadikan jargon dan bahan perbincangan dalam dunia politik sebagai tema kampaye yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat.

Sekolah-ku sayang sekolah-ku malang

Penulis sempat terkagum dengan acara Republik BBM yang disiarkan di Indosiar beberapa minggu yang lalu. Dalam acara tersebut dibahas masalah pendidikan Indonesia, salah satunya gedung sekolah. Dibeberapa daerah bahkan di Jakarta yang merupakan kota besar masih ada gedung sekolah yang rusak parah dan bias dikatakan tidak layak pakai. Sehingga siswa harus belajar di ruang terbuka atau diluar gedung sekolah karena takut suatu saat gedung sekolah mereka roboh, lebih ironisnya lagi, ada kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dibawah jembatan bawah tol. Katanya sih,dinding jembatan tol lebih kokoh dibandingkan gedung sekolah mereka yang roboh dihantam banjir, jadi mereka tidak perlu kwatir bila ada banjir wong dinding sekolah sangat kuat dan tidak perlu memasang AC atau kipas angina karena sudah tersedia AC alami(angin cliwir-cliwir) serta full musik dari suara kendaraan yang lalu lalang diatas jembatan. Sekolah dibawah jembatan jalan tol merupakan kritikan pedas bagi pemerintah. Bayangkan saja untuk membangun jembatan yang kokoh, jalan tol yang mulus pemerintah rela mengeluarkan biaya ber-milyar-milyar, sedangkan untuk membangun gedung sekolah dibelikan bahan bangunan yang murah dan tentunya hasil bangunannya tidak sekokoh jembatan tol.

Banyak sekali siswa yang terpaksa belajar diruang terbuka atau meminjam gedung sekolah lain karena gedung sekolah mereka rusak dan cukup membahayakan bila ditempati.

Kasus lain, gedung sekolah Madrasah Ibtiyaidah Sirajul Fatah, desa Bojong Indah mengalami kerusakan yang berat dan hampir roboh. Dengan kondisi sekolah yang seperti itu siswa yang berjumlah 440 orang terpaksa menumpang digedung MTs. Bila sekolah tersebut ditutup, bagaimana nasib anak-anak yang ingin merasakan pendidikan yang lebih baik. Pernyataan yang sungguh menyayat hati ketika salah seorang siswa ditanya cita-citanya “ Ga tau teh”, sekolahnya aja ambruk,mau punya cita-cita, mimpi kali” . ah…sekolah-ku sayang sekolahku malang……

Gedung sekolah yang diceritakan oleh penulis diatas merupakan contoh sebagian kecil dari gedung-gedung sekolah di Indonesia yang memprihatinkan.

SEKOLAH KITA RAPUH

Sekolah di Indonesia tidak hanya terkesan elitis dan melanggengkan ketimpangan sosial, tetapi dalam dirinya ternyata rapuh. Sekolah kita tidak hanya rapuh dari segi fisik(banyak sekolah proyek inpres mulai ambruk), tetapi juga rapuh berhadapan dengan kekerasan dari luar yang merangsek eksistensinya, mulai dari cara-cara yang halus melalui metode pembelian buku serta berbagai macam bisnis yang mengatas namakan kepentingan sekolah, sampai cara paling kasar, pengerahan massa, penggusuran sekolah, serta penutupan kegiatan belajar mengajar dengan cara memblok jalan masuk sekolah. Sekolah tidak berdaya berhdapan dengan kultur kekerasan.

Mempertanyakan kembali arah pendidikan kita dalam situasi cultural-politis seperti sekarang menjadi kian actual dan mendadak mengingat pemerintah baru telah bertekad untuk bekerja keras dan bersatu padu mengatasi persoalan bangsa secara bersama. Tentu tidak kebetulan apabila Kabinet Indonesia Bersatu, yang mengindikasikan adanya sinergi dan kebersatuan dalam melaksanakan amanat rakyat.

Pembaruan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa dibarengi pembaruan di bidang politik dan hukum. Merobohkan tembokyang dibuat untuk mengibiri hak warga Negara dalam menerima pendidikan sebenarnya tidaklah sulit. Namun untuk merobohkan tembok, pemerintah memerlukan perangkat hokum yang kuat dan efektif, dengan aparat yang memiliki kepekaan nurani tajam akan adanya ketidak adilan. Tak seorang pun dinegeri ini memiliki hak untuk mengebiri hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan.

Situasi pendidikan kita tak akan beranjak jauh jika pintu gerbang menuju jalan kesejahteraan dan kemakmuran tetap “ditembok” oleh nurani sempit para petualang politik, estetika rendahan pecinta kekerasan, dan gelegar moral pemasung kebenaran. Namun rupanya, situasi inilah yang kita miliki sekarang.

KURIKULUM BERBASIS BINGUNG(KBB)

Kurikulum pendidikan yang saat ini berubah-ubah menjadi kebingungan tersendiri bagi pendidik maupun peserta didik( Kedaulatan Rakyat,16 Mei 2006). Siswa seakan-akan menjadi kelinci percobaan untuk menemukan kurikulum mana yang pengaruhnya lebih besar terhadap mutu pendidikan. Jadi tak usah heran bila belum genap satu tahun kurikulum sudah diisukan satu tahun akan diganti dengan kurikulum yang lain. Lucunya lagi, perubahan kurikulum yang membingungkan ini menjadi ladang uang bagi pihak tertentu. Tiap pergantian kurikulum maka buku ajar pun berganti walaupun sebenarnya yang berubah adalah cover buku yang dipoles lebih menarik, isinya sama saja dengan buku yang digunakan kurikulum lama,dan siswa diwajibkan untuk membeli buku baru.

Kurikulum berbasis bingung (KBB), mungkin itu lebih tepat untuk mengistilahkan kurikulum pendidikan kita yang gonta-ganti.kurikulum berbasis kompetensi ( KBK ) kemudian pada tahun 2006 diganti dengan KTSP. Kurikulum berbasis sekolah telah mengundang banyak pakar menyumbangkan ide mereka. Ada yang mengusulkan menggunakan kurikulum berbasis karakter, ada yang mengusulkan kurikulum berbasis alam dan masih banyak lagi kurikulum lainnya yang disesuaikan dengan “selera” . kira- kira kurikulum mana yang tepat untuk menjadi solusi pendidikan kita? Tidak ada yang salah dengan dengan kurikulum, yang salah adalah pelaku pendidikan. Pelaku pendidikan yang dimaksud bukan hanya guru tetapi semua element masyarakat Indonesia yang bertanggugjawab atas pendidikan. Bila pelaku pendidikan masih menganaktirikan pendidikan dan terus melakukan KKN, semua kurikulum tidak akan ada yang mampu mengantarkan pendidikan Indonesia ke puncak keberhasilan, dan pendidikan Indonesia tidak akan pernah lepas dari pembodohan siswa.

RENDAHNYA MUTU GURU

Guru adalah profesi yang pada mulanya oleh masyarakat Indonesia sebagai pekerjan yang mulia dan luhur(supriadi, 1999) karena mereka adalah orang yang berilmu, berakhlak, jujur, baik hati, disegani serta menjadi teladan masyarakat dan masih banyak karakteristik lainya (Hadiyanto 2001). Di Amerika Serikat posisi guru menempati urutan pertama sebagai profesi yang diminati sebab profesi guru memperoleh penghargaan yang proporsional, sedangkan di Indonesia profesi guru menjadi pilihan terakhir setelah gagal mencari pekerjaan lain yang “lebih baik”

Secara umum guru merupakan factor penentu tinggi rendahnya kwalitas pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan propesional, pedagogic, kepribadian, sosial, dan factor kesejahteraan. Namun demikian, dalam kenyataannya penghargaan masyarakat di Indonesia terhadap guru belum seperti keinginan mereka tentang profesionalisme yang harus dimiliki guru. Akibatnya,profesi guru menjadi tempat pelarian setelah orang-orang gagal mendapatkan pekerjaan yang lebih menjamin kesejahteraan mereka. Dampak yang lebih parah lagi, banyak ditemukan guru-guru yang asal mengajar dan tentunya belum layak di katakan sebagai guru yang bermutu. Lebih lucunya, sarjana lulusan ekonomi bisa mengajar Bahasa Indonesia, sarjana teknik elektro mengajar biologi dan kimia. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki syarat keguruan, hamya mentransfer ilmu dari buku yang dipegangnya tanpa dibekali teori pedagogiek yang mapan sehingga seringkali metode mengajarnya pun membuat siswa merasa jenuh dan bosan.

Sebuah profesi akan lebih diminati oleh orang intelek maupun non intelek apabila profesi tersebut mendapat penghargaan yang proporsional baik dari segi finansialnya maupun penghargaan dari masyarakat dan pemerintah. Dahulu guru menempati urutan teratas dan banyak diminati oleh putra-putri bangsa. Sekarang guru menempati urutan yang memprihatinkan atau mungkin yang terakhir karena tuntutan zaman yang memaksa kita untuk bersaing dalam mempertahankan hidup. Gaji guru yang tidak cukup untuk memberi makan keluarga adalah alasan utama untuk tidak menjadi seorang guru. Orang akan mengejar pekerjaan yang akan menghasilkan banyak uang seperti dokter, pengusaha, dan lain-lain.

Untunglah pemerintah menunjukkan kepeduliannya terhadap penjaminan mutu dan kwalitas hasil pendidikan serta kesejahteraan guru yang ditandai dengan lahirnya UU No 14 Thn 2005 tentang guru dan dosen, dan PP No 19 Th 2005 tentang standar nasional pendidikan. Dalam UU dan PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kwalifikasi minimum dan sertifikat kompetensi guru sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar. Setifikat pemdidik merupakan pengakuan terhadap kompetensi seseorang yang diperoleh setelah mengikuti pendidikan profesi untul melakukan pekerjaan sebagai pendidik. Kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang cukup baik oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu guru. Melalui program sertifikasi kompetensi profesi guru, pemerintah memberikan tunjangan kesejahteraan(financial) yang sangat besar terhadap guru dengan syarat memiliki sertifikat pendidik. Sayang kebijakan pemerintah ini banyak menimbulkan perdebatan dari kalangan masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan karena diprediksikan banyak kekurangan dalam mekanisme lapangan.

TRAGISNYA MENJADI SISWA…..

Pendidikan adalah hak setiap insan. Di Indonesia, berbagai kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan siswa dari kejamnya keadaan yang membawa mereka kejurang tragedi yang sangat menyedihkan, belum terasa mampu menceriakan senyum anak bangsa. Seharusnya mereka nyaman menjadi seorang siswa karena tidak mampu menanggung beban penderitaan sebagai seorang siswa, bukan sebaliknya justru terasa terancam. Bukan hanya itu, orang tuapun banyak yang ikut menderita dan kebingungan dengan tidak terjangkaunya mereka oleh kebijakan pemerintah yamg katamya meringankan beban orang tua. Entah apa yang terjadi, pemerintah telah mendengungkan berbagai bentuk bantuan seperti BOS (Bantuan Operasional Siswa) dan BKM (Bantuan Khusus Murid) tetapi masih saja ada siswa dan orang tua yang nasibnya kurang beruntung.

Memang tidak semua siswa mengalami kisah tragis, tetapi patut dijadikan pelajaran bagi kita yang perduli dengan pendidikan supaya kedepannya bisa menjadi lebih baik dan tidak ada lagi siswa yang bernasib menyedihkan. Janji pendidikan murah atau gratis bagi yang tidak mampu, tak pernah terlaksana atau tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat miskin. Akibatnya banyak anak SD dan juga orangtua bunuh diri, karena tidak mampu membayar SPP. Inilah akibat privatisasi pendidikan yang kebablasan. Semua harus mendatangkan uang, tak peduli rakyat miskin bunuh diri karenanya.

Wajib belajar yang digembar-gemborkan ternyata masih merupakan impian indah. Sekolah gratis-meskipun SD masih merupakan impian. Padahal pendidikan adalah termasuk kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh Negara. Negara kita bukan tidak punya uang untuk melaksanakan pendidikan gratis setingkat SD, tetapi uamg yang ada tidak pernah dialokasikan dengan baik dan adil , bahkan anggaran yang ada dibidang pendidikan sekali-pun.

Dalam undang-undang Sisdiknas (UU No 20 tahin 2003) yang banyak ditentang kalangan tertentu di tanah air , dsebutkan, bahwa “ dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sector pendidikan dan 20% dari APBD.” Ini sesuai dengan UUD 1945 yang menerapkan anggaran pemerintah paling tidak 20% dari APBN.

Jadi secara normative, ada harapan alokasi anggaran pendidikan akan lebih besar dari waktu-waktu mendatang. Namun alokasi seperti itu bukan hal yang mudah. Kita tahu, banyak aturan yang bagus dan indah diatas kertas, tetapi pelaksanaanya dilapangan bisa berbeda sama sekali. Adalah mengerikan jika suatu UU dibuat sebagus dan seideal mungkin, tetapi pada saat yang sama pejabat dan masyarakat menyadari semua itu bisa diatur”. Perjudian, korupsi, suap, hadiah untuk pejabat, dan sebagainya, jelas-jelas barang terlarang dinegara ini, tetapi semua tau bagaimana praktiknya dilapangan. Ada satu hal yang sangat mengerikan, jika pada saat yang sama, banyak pejabat dan elite nasional bicara tentang kesejahteraan rakyat, bicara tentang memajukan pendidikan, membuat UU yang bagus, tetapi pada saat yang sama juga melakukan tindakan yang menghancurkan semua cita-cita ideal itu.

Ambillah contoh dibidang pendidikan. Seriuskah para pemimpin kita memajukan pendidikan nasional? Untuk menjawabnya, lihatlah apa yang dilakukan, jangan melihat apa yang diucapkan, atau apa yang tertulis diatas kertas. Ketika UU No 20 Th 2003 ini disahkan dan disosialisasikan, terpikirlah oleh para aktivis, dan tokoh-tokoh islam yang mendukung RUU Sisdiknas ketika itu, bagaimana cara pemerintah memenuhi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%. Ketika bangsa ini masih dalam situasi kemerdekaan, terpetiklah berita, bahwa Pemda DKI akan merenovasi”patung Arjuna Wijaya” yang menelan dana 4 miliar.

Patung ini terletak di Bundaran Air Mancur dekat Bank Indonesia. Rincian biaya renovasi patung, Rp 1,5 miliar untuk pemugaran patung Rp 1,3 miliar dan umtuk perbaikan, penambahan lampu dan air mancur, serta Rp 1,2 miliar untuk biaya perawatan selama 10tahun. Berapa hari sebelumnya, patung sudirman diresmikan. Kita ingat, tahun sebelumnya biaya untuk perbaikan air mancur bunderen HI mencapai Rp 14 milyar. Bayangkan jika seluruh Indonesia ada 1000 patung saja dengan biaya pembangunan dan perwatan 2 milyar, maka ada alokasi dana 2 triliyun milyar untuk proyek perpatungan ini.

Padahal kemungkinan besar bisa lebih, karena kita sudah dan sedang membangun banyak sekali patung- patumg yang sangat mahal, seperti patung Kristus Raja di Dili, patung garuda wisnu Kencana, dan sebagainya. Jika uang 2 triliyun itu diberikan kepada 1.000.000 siswa yang bernasib kurang mampu, maka masing-masing sisw akan mendapat jatah beasiswa Rp 2 juta. Tentu ini sangat menolong mereka untuk menyelesaikan sekolah mereka. Penting manakah membuat dan memelihara patung-patung dengan menyelamatkan patung-patung dengan menyelamatkan pendidikan jutaan siswa sekolah dasar? Mengapa orang tidak kapok membangun patung, meskipun Stalin, Saddam, Curesco, dan lainnya ditumbangkan?

BIAYA MAHAL, BANYAK SISWA TERANCAM PUTUS SEKOLAH

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, tidak saja berdampak pada perekonomian tetapi juga pendidikan. Meskipun pemerintah sudah memberikan dana Bantuan Operasional Siswa(BOS), Bantuan Khusus Siswa(BKS) maupun subsidi tunai, namun banyak anak-anak sekolah terancam putus sekolah. Terlebih dengan standar nilai ujian akhir nasional yang ditentukan pemerintah juga sangat berpengaruh pada peserta didik, yang ujung-ujungnya banyak siswa yang takut melanjutkan karena takut tidak lulus.

Pada tahun ajaran 2005-2006 ini masyarakat banyak diantara para lulusan SD/MI maupun lulusan SMP/MTs yang tidak melanjut kejenjang yang lebih tinggi, dengan alasan tidak mampu membayar sekolah atau takut karena tidak lulus karena kemampuannya terbatas. Kalaupun pemerintah sudah memberikan bebas biaya atau bantuan beasiswa, namun sejumlah siswa tetap mengaku keberatan, karena ongkos transport dari rumah ke sekolah juga mahal karena menyusul naiknya harga BBM belum lama ini.

Kita yakin banyak anak yang untuk bersekolah saja tidak ada kesempatan, sehingga mereka harus hidup menggelandang dan menjadi kejar-kejaran dengan satpol pamong praja. Hidup mengelandang dan di jalan-jalan bukan tidak karena ada sebab, bahkan akibat ini-pun justru menimbulkan persoalan baru bagi bangsa ini. Sehinga semakin menambah deret panjang persoalan yang harus diselesaikan pemerintah lebih-lebih dalam dimensi pendidikan. Menurut Adian Husaini(2003) wajib belajar yang digembar-gemborkan pemerintah ternyata masih impian indah. Sekolah gratis meskipun SD milik pemerintah masih merupakan impian. Padahal pendidikan adalah termasuk kebutuhan pokok yang harusnya dipenuhi oleh Negara. Kita bukan tidak punya uang untuk melaksanakan pendidikan gratis setingkat SD, tetapi uang yang ada tidaklah dialokasikan dengan baik dan adil, bahkan anggaran yang ada dibidang pendidikan sekalipun.

KEMANA SISTIM PENDIDIKAM KITA AKAN BERKIBLAT???

Apakah bobroknya sistim pendidikan Indonesia juga mempengaruhi pembodohan siswa? Pembodohan siswa juga dipengaruhi oleh buruknya sistim pendidikan. Namun apakah benar sekarang sistim pendidikan dinegara kita benar-benar telah buruk sehingga menghancurkan pertahanan dan kekuatan pendidikan kita yang pada era 50-an menjadi sorotan Negara tetangga kita yang sekarang telah maju seperti Singapura dan Malaysia. Semua hak cipta pendidikan kita seakan-akan dirampas oleh mereka sehingga Indonesia yang pada awalnya masih berada pada peringkat lebih atas dari mereka tersudut dengan kebodohan sendiri dan hanya mampu mengatakan wah…mereka hebat!!!.... padahal kita seharusnya malu dan berusaha merebut kembali citra pendidikan kita dengan terus bersemangat serta berdoa dan beriktiar untuk memajukan dan mengembangakan pendidikan.

Betulkah ada desentralisasi akan meningkatkan kwalitas pendidikan dinegara kita? Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksanaan-pelaksanaan yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistim pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat diatas tidak banyak. Pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan intruksi ,juklak,dan juklis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentalisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandekan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentralisasi mungkin bisa meningkatkan kwalitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh scor test. Tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal efisiensi, dalam arti dalam lulusan sekolah nisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.

Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok berlin memisahkan dunia pendidikan “ dunia kerja” difihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi didunia kerja tidak bisa disadap secsra cepat oleh dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan kerja. Dan adanya penganguran bersamaan kekurangan tenaga kerja didunia kerja tidak bisa dielakkan lagi.

Penghilang tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. Deberlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan mendapatkan sesuatu yang rill daru dunia kerja, sebaliknya orang yang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi-informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum pendidikan,bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk kedunia pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga sehingga meningkatkan aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan semangat dan metalitas dunia kerja kedalam dunia pendidikan.

PENDIDIKAN NASIONAL TERHIMPIT KURIKULUM DAN ANGGARAN

Memasuki abad 21 sumberdaya manusia kita masih kurang kompetitif dibandingkan dengan Negara-negara di Asia Tenggara. Keadaan ini masuh diperparah dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Dalam konteks saat ini, kemunculan sebuah kurikulum menjadi menjadi kebutuhan krusial dalam proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Berbagai persoalan mulai muncul dejak diberlakukannya kurikulum baru.

Ketidakoptimalan KBK disebabkan oleh tiga hal.

Pertama inkonsistensi aplikasi menyebabkan anburadulnya pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan tercipta sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan hidup. Namun, padatnya materi pelajaran disekolah dengan waktu yang relative singkat menyebabkan para guru kelabakan dalam menerapkan KBK untuk mencapai kompetensi. Sebagai contoh, untuk SMA kelas I terdapat 16 mata pelajaran (MP) dalam waktu 37-40 jam pelajaran (JP) perminggu. Dalam hal ini, ! JP sama dengan 45 menit. Dengan jumlah MP yang banyak dan JP yang sedikit itu siswa dituntut untuk menguasai kompetisinya, bagaimana bisa optimal?

Kedua, ada perbedaan interprestasi dan implementasi KBK di tingkatpenatar, kepala sekolah, dan para guru karena karena sosialisasi belum optimal. Guru banyak yang menerapkan KBK dengan porsi pembelajaran yang berlebihan kepada siswa. Ada guru yang mengajarkan matematika langsung pada soal-soal kemudian dibahas. Ketika ditanya alasannya KBK.

Ketika kemunculan KBK yang berpijak pada asumsi bahwa kondisi sekolah di Indonesia tidak sama seharusnya menjadi kerangka dasar bagi pemerintah dalam menerapkannya. Namun pemerintah masih terlalu mencampuri wewemag sekolah. Sebagai contoh, UAN yang masih sentralistik dengan standar nilai dan soal ujian ditentukan oleh pemerintah jelas bertentangan dengan yang seharusnya dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Perbaikan kurikulum dengan melibatkan masyarakat sebagai salah satu elemen belum sepenuhnya tepat sasaran. Selama ini pelibatan masyarakat hanya dalam persoalan financial dan intrastruktur. Pemahaman yang sepenggal tentang kebujakan pendidikan justru menibulkan bahwa wacana otonomi pendidikan yang pada gilirannya memunculkan komersialisasi dan kapitalisme didunia pendidikan.

Dalam hal bantuan operasional sekolah (BOS), pemerintah ternyata tidak sukses menjalankan. Pengucuran dana BOS ternyata hanya menjadi pengalih isu. Rakyat semakin menderita akivbat kenaikan harga barang dan bahan pokok. Akibatnya mereka yang miskin semakin tdak mampu menyentuh pendidikan lantran kebutuhan sehari-hari masih sulit dipenuhi, bahkan upaya pemerintah dengan rencana anggaran pendidikan sebesar 20 % belum dirasakan sampai kepelosok. Barangkali inilah nasib pendidikan nasional kita yang masin terhimpit dengan persoalan kurikulum dan anggaran.

PERILAKU PEMBODOHAN SISWA

A.Dalam rumah tangga.

Seorang anak mendapatkan pendidikan pertama kali dilingkungan keluarga. Dikeluargalah akan terbentuk watak anak apakah ia akan menjadi seorang anak yang rajin, manja, maflas, dan sebagainya. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai sekarang sampai berpengaruh besar terhadap perkembangan anak.

Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Peralihan bentuk pendidikan informal (keluarga) ke formal (sekolah) memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan anak, karena merekalah yang menjadi penentu masa depan anaknya. Namun masih banyak sekali ditemukan kenyataan bahwa orangtua yang seharusnya bertanggungjaawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya melakukan tindakan dan atau berperilaku yang mengarah dan menyebabkan kebodohan terhadap anaknya sendiri (siswa). Entah disadari atau tidak tindakan dan perilaku-perilaku orangtua yang keliru akan berdampak besar bagi proses belajar anak. Bentuk-bentuk tindakan atau perilaku pembodohan siswqa yang dilakukan oleh orang tua.

1. Kurang perhatian

Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya mencari nafkah kadang melupakan kalau mereka memiliki buah hati yang harus diperhatikan penuh kebutuhannya termasuk kebutuhan akan pendidikan. Bahkan tidak jarang orang tua menyalahkan sekolah bila anaknya terlibat dalam pelanggaran hokum atau mendapat nilai kurang baik dalam ujiannya. Mereka menghujat sekolah sambil berkata”buat apa saya membayar mahal-mahal sekolah bila anak saya tidak diajar dengan becus”,padahal belum tertentu letak kesalahan pada sekolah, kesalahan ini bisa saja terletak pada orang tua yang sering menitipkan anak dengan pembantu yang kurang professional. Dan biasanya orang tua memang akan lebih memperhatikan anaknya bila anak tersebut melakukan “sensasi” yang menggerkan.

Selain kesibukan orang tua dalam bekerja, broken home juga sangat berpengaruh pada pendidikan. Disaat orangtua sibuk mengurus perceraian, ditempat lain anak-anak menutup telinga mereka kuat-kuat sambil menangis karena setiap hari mendengar pertengkaran orang tua mereka dan merebut untuk mendapaatkan hak asuh anak, jika diibaratkan sang anak adalah barang yang bisa dilemparkan ke sana ke mari menurut selera si pelempar. bila iman sang anak tidak kuat, mereka akan membuat hal-hal yang negative untuk memberitahu orang tua bahwa mereka butuh kasih sayang ibu dan bapak. lagi-lagi biasanya orang tua akan sadar atas kekeliruan mereka bila sang anak ber-ending menyedihkan dari perjalanan yang kelam hanya untuk mendapatkan perhatian orang tua.

seorang ibu menambahkan, pembodohan siswa yang dilakukan oleh orangtua juga terletak pada tindakan membiarkan anak menonton acara televisi yang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. sangat dikhawatirkan bagi anak-anak usia balita atau usia taman kanak-kanak yang direkam diotaknya sangat tajam. adegan-adegan yang seharusnya tidak dimunculkan dalam film kartun anak sering mucul, misalnya adekan ciuman dalam percintaan, bahkan sengan malu-malu mereka menunjukkan adegan di tv, ‘ih…kartun bercinta’. bahkan anak akan mencoba melakukan tindakan yang serupa dari adegan film kartun yang ditontonnya pada teman sepemainan. untuk itu, hati-hati degan film kartun dan apabila anak menonton tv, biasakanlah untuk menemani mereka dan memberikan penjelasan yang mendidik dari apa yang mereka tonton.

2. menyuap sekolah (guru)

menjelang pembagian raport, sering kita dengar guru ersiap-siap untuk mendapat penghasilan lebih dari orang tua siswa. pasalnya bagi guru yang tidak memiliki jiwa keguruan yang baik dan professional akan tergiur dengan uang atau entuk hadiah lainnya dari orang tua yang ingin anaknya mendapat nilai bagus dalam raportnya. kejadian ini banyak sekali ditemukan didaerah perkotaan. ada beberapa alasan orang tua melakukan penyogokan kepada guru, antara lain:

a. seorang ibu malu bila anaknya mendapat nilai ujian yang jelek. biasanya hal tersebut dipicu oleh adanya perkumpukan atau arisan ibu-ibu yang selalu membanggakan anaknya sehingga bila anaknya mendapatkan nilai jelek disekolah, mereka berlomba-lomba memberikan sogokan kepada guru untuk memanipulasi nilai anaknya supaya lebih tinggi dari yang lain.

b. selalu mendapatkan keluhan dari anaknya bila nilainya rendah. anak tersebut tidak mau melanjut sekolah, jalan satu-satunya adalah menyuruh guru memberikan nilai yang bagus kepada anaknya yang tentunya denga imbalan.

c. hanya dekedar untuk membahagiakan anak mereka

d. takut bila anaknya tidak naik kelas dan akan menambah biaya untuk pendidikan anaknya karena harus mengulang satu tahun.

tindakan orang tua memberikan sogokan kepada guru untuk memperoleh nilai bagus merupakan suatu tindakan yang sesungguhnya secara sadar merupakan pembodohan terhadap kualitas siswa. sehingga siswa tersebut patut disimbolkan ‘tong kosong nyaring bunyinya’ yaitu generasi muda yang tidak memiliki bobot sama sekali walaupun kehebatan tertulis karena adanya kehebatan kebohongan belaka.

apa jadinya bila anak yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja dalam belajar dipaksa mengenyam studi yang pelajarannya diluar kemampuan sang anak?? pastinya anak akan depresi dan stress hebat. memang benar bila kita belajar terus-menerus akan mapu pintar tetapi kita tidak boleh mengingkari juga bahwa anak memiliki bakat dan minat tersendiri yang patut dihargai dan yang membuat mereka menjadi lebih menguasai dalam satu studi tertentu sehingga membuat mereka seakan-akan hanya pintar dalam satu studi tertentu pula. adanya orang tua yang memberikan sumbangan yang mahal akan merenggut kesempatan anak-anak yang pintar tetapi kalah bersaing dengan orang tua kaya sehingga timbullah opini bahwa pendidikan sangat mahal harganya.

3. pemaksaan hak

Orangtua memang bertanggungjawab atas pendidikan anak mereka dan berhak sepenuhnya mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pedidikan sang anak. namun, tanggungjawab dan hak tersebut bukan suatu alasan untuk memaksa siswa menuruti keinginan orangtua yang tidak sesuai dengan keinginan dan kemampuan anak. keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh kesesuaian minat dan bakat dengan bidang studi.

bagi siswa yang terlanjur menuruti keinginan orangtua tepati tidak memiliki bakat dan minat terhadap studi yang ditentukan oleh orangtua, biasanya akan merasa tertekan dalam perjalanan pendidikannya. mereka cenderung tidak memili semangat untuk belajar, serta belajar disekolahpun asal-asalan dan ogah-ogahan.

sesungguhnya jika kita sebagai orangtua mau belajar dari sejarah dan pengalaman rasa-rasanya sudah cukup menjadikan pelajaran bagi para orangtua. karena, tidak hanya keinginannya yang tidak terwujud, mungkin mimpi sang anakpun dibuat kandas dan tidak akan pernah tercapai, karena hanya mengikuti nasub orang tua yang keliru.

4. menyuruh anak mencari makan

tidak sedikit anak yang masih dibawah umur atau seharusnya berada disekolah terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. kemiskinan tetap menjadi alasan utama untuk hal tersebut sehingga orangtua tidak memkirkan pendidikan anak mereka. tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah sehingga pendidikan sang anak terabaikan adalah problem rumit bagi dunia pendidikan. kita tidak bisa memfonis mereka sebagai orang yang tidak mendukung pendidikan bangsa, Karena mereka harus dihadapkan pada dua pilihan yaitu meninggalkan sekolah untuk bekerja supaya dapat bertahan hidup atau bersekolah tetapi harus kelaparan disetiap hari dan menyianyiakan waktu karena toh akhirnya mereka harus berhenti ketika tidak ada lagi biaya untuk membayar pendidikan mereka.

5. keras dalam mendidik

tindakan apa yang tepat bila anak anda mendapatkan nilai nol besar dilembar jawaban ujiannya??HUKUMAN. mungkin itu jawaban yang dilontarkan oeh orangtua. hukuman memang perlu diberikan kepada anak bila anak tersebut melakukan kesalahan. namun perlu dipegang, hukuman tidak bermaksud melampiaskan kemarahan dengan kekerasan sehingga membuat anak trauma.

segala bentuk kekerasan tidak akan berbuah baik walaupun ermaksud untuk memberi hukuman supaya anak menjadi lebih baik. kehidupan yang ditekan oleh rasa ketakutan akan membuat anak menjadi individu yang selalu cemas berlebihan sehingga apa yang dilakukannya tidak menghasilkan sesuatu yang baik atau kapan menjadi lebih buruk.

kekerasan juga akan menimbulka pembangkangan dalam jiwa anak, mereka akan tumbuh menjadi mahasiswa penganiaya dan pemeras kejam terhadap orang lain. mereka juga akan menjadi individu yang kebal hukum karena kebencian mereka terhadap hukuman kekerasan yang selalu diberikan orangtua. pemberontakan mereka merupakan bentuk kekerasan, kebalikan yang dilakukan oleh orang tua, karena sudah dicap menjadi anak yang bodoh dan selalu dibentak, sebaiknya menjadi anak yang bodoh sekalian yang mungkin itulah pilihan mereka.

jadi hilangkanlah bentuk kekerasan dalam mendidik. jadi berilah selalu motivasi positif karena merupakan pilihan yang tepat bagi orang tua dari pad motivasi berbentuk paksaan.

b. Pembodohan di sekolah

peningkatan kwalitas pendidikan menjadi pokok pembahasan yang tidak berujung dan selalu menjadi pokok permasalahan untuk diperdebatkan oleh pelaku pendidikan. hal tersebut dikarenakan tidak terjaminnya kesiapan dalang maupun pelakon pendidikan yang disebabkan oleh banyak faktor internal maupun eksternal. misalnya permasalahan peningkatan kwalitas pendidikan indonesia yang kontroversional baik ari kalangan siswa, wali atau orangtua siswa, pendidik dan kepala sekolah, yaitu kebijakan peerintah yang menaikkan standarisasi kelulusan siswa setiap tahunnya. memang bukan hal yang mudah untuk mencapai nilai standart tersebut, tetapi bila kebijakan pemerintah itu dijadikan suatu tantangan bukan suatu masalah yang dielu-elukan, kwalitas pendidikan di indonesia bisa diajung jempolin.orientsi pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek pendidikan berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar untuk melamarkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan tersebut. setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan 4 dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru,dimensi materi pengajaran dan dimensi manejamen pendidikan.

dimensi status anak didik terentang dari anak didik berstatus subyek dan anak didik berstatus subyek. dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. dimensi yang ketiga adalah matri pendidikan yang memiliki rentan dari materi yang bersifat subyek oriented sampai problem orented. dimensi keempat, manajement pendidikan terentang dari manajement yang bersiar sentralisasi sampai manajement yang bersifat desentralisasi.

orientasi dari pendidikan kita cenderung memberlakukan peserta didik sebagai objek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator materi bersifat subject oriented, manajemen bersifat sentralistis. orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang rill yang ada diluar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan,terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghapal dan menguasai semua pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian, dimana pada ksempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihapalkan.akibat dari praktek pendidikan tersebut muncullah berbagai kesenjangan yang antara lain berupa kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional, dn kesenjangan kultural.

berikut ini beberapa perilaku pembodohan siswa yang sering terjadi disekolah atau pendidikan formal:

1.memanipulasi nilai

bukan menjadi rahasia umum berita tentng guru yang melakukan manipulasi nilai ujian siswa.ada yang melakukannya atas dasar kasihan, tekanan dari kepala sekolah, kedekatan dengan siswa, bahkan ada yang melakukannya karena mendapat sogokan dari orangtua siswa maupun siswa itu sendiri.

2. Guru Tidak Percaya Diri

kenaikan nilai standarisasi kelulusan siswa menimbulkan pro dan kontra dari pihak siswa, orangtua siswa, maupun guru dan kepala sekolah. disaat standarisasi kelulusan dinaikkan banyak sekali siswa yang tidak lulus dan banyak terjadi manipulasi nilai atau berbagai bentuk kecurangan dengan berbagai motif. untuk itu perlu dipertanyakan apakah ditahun-tahun mendatang dengan menaikkan standarisi akan lebih meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia atau malah meningkatkan aksi korupsi nilai yang berujung pada menina-bobokan siswa atau pembodohan siswa.tindakan yang dilakukan oleh guru mengerjakan soal ujian merupakan bentuk ketidakpercayaan diri guru. mereka takut bila banyak siswa yang tidak lulus pada mata pelajaran yang diujikan sehingga dimarahi oleh atasan, takut bila dicap sebagai guru yang tidak becus dalam mengajar, dan takut apa yang diajarkan tidak bisa dimengerti oleh siswa atau bisa juga guru melakukan hal tersebut murni hanya untuk membanbantu siswa, lebih tepatnya membantu siswa untuk lebih bodoh.

3.Gaya Mengajar Yang Membodohkan siswa.

praktek persekolahan yang berlangsung saat ini disinyalir sebagai sebuah proses pembodohan siswa.Thomas Amstrong (2002) yang dikutip oleh Aswandi(pontianak post,25 januari 2003) mengatakan bahwa masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar.dalam praktek pembelajaran di sekolah siswa bersusah payah menyesuaikan gaya belajarnya dengan gaya mengajar guru. seharusnya guru bisa memberikan pelayanan yang baik kepada siswa, salah satunya menyasuaikan gaya mengajar dengan gaya belajar siswa. untuk itulah guru dituntut keprofesionalannya dalam mengajar.

untuk menciptakan pendidikan yang berkwalitas tentunya dibutuhkan kompone-komponen pendidikan yang berkualitas dan memadai. salah satunya adalah guru yang profesional. padahal kita tahu bahwa saat ini banyak guru yang tidak profesional dalam melakukan tugasnya. mereka meganggap peserta didik sebagai gelas kosong yang dapat diisi air sampai penuh,sehingga didalam kelas yang dilakukan hanyalah berceramah, masih untung kalau melakukan variasi dalam berceramah, namun biasanya yang dilakukan hanyalah mengajar dengan monoton dan membuat ngantuk para peserta didiknya.

padahal kita tahu bahwa gaya mengajar yang monoton akan mematikan daya kreatif peserta didik. sehingga wajar kalau peserta didik enggan atau bahkan tidak mau mengeluarkan pendapatnya ataupun bertanya,mereka hanya duduk,diam,dan mendengar apa yang dibicarakan guru. sehingga ada yang generasi peserta didik saat ini dengan sebutan ” generasi bisu ”. hal inilah yang menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi terpuruk.

mengadakan variasi dalam mengajar merupakan keterampilan yang harus dikuasai guru,supaya siswa tidak merasa jenuh dan bosan. guru yang hanya duduk bermalas-malasan dibelakang meja guru atau podium, mendiktekan rangkuman yang sudah siap atau bahkan menyuruh siswa untuk mendiktekan sedangkan guru hanya berdiam diri dimeja, dan dari hari kehari berpenampilan yang sama yang akan membuat siswa menjadi malas dan tidak kreatif pula. siswa akan merasa senang jika guru tidak masuk kelas untuk mengajar karena gaya mengajar yang monoton akan berdampak siswa tidak menyukai pelajaran yang diajar oleh guru tersebut.

gaya belajar guru bisa mencerminkan sifat dari guru itu sendiri karena gaya mengaplikasikan semua karakter seseorang. didalam interaksi pembelajaran, gaya mengajar merupakan bentuk dari pengaplikasian strategi mengajar, metode mengajar, dan keterampilan- keterampilan mengajar dalam bentuk bahasa tubuh dan penonjolan kepribadian.sehingga banyak sekali sebutan siswa terhadap gurunya yang menonjolkan kekhasan gaya mengajar mereka, misalnya guru otoriter, guru ’ nyaris tak terdengar’ yang maksudnya suara guru tersebut diibaratkan dengan motor shogun diiklan tv. jika selama ini guru lebih otoriter, syarat komando, bergaya birokrat perlu diubah peranannya menjadi orang tua atau sahabat. dengan begitu siswa akan lebih kreatif, semangat belajar, tidak takut untuk mengemukakan pendapatnya, dan tidak terjebak dalam pembodohan.

guru yang bisa mengajar dengan baik adalah guru yang profesional. St Kartono menyatakan bahwa dalam dimensi profesionalitas, guru dituntut untuk memotivasi dan melibatkan siswa dalam proses belajar dengan menggunakan gaya, strategi serta teknik pengajaran yang sesuai dengan konteks pembelajaran. tugas- tugas pembelajaran disusun demi kebutuhan-kebutuhan belajar individu, dan perbedaan latar belakang siswa serta mengoptimalkan waktu belajar. perlunya menghitungkan efek-efek perbedaan kemampuan fisik, intelekual, ketersediaan alam selama proses belajar dengan mengingat bahwa siswa mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. untuk itulah gaya mengajar guru harus mengacu pada perbedaan individu siswa supaya tidak terjadi pembodohan siswa yang berkelanjutan.

4. Soal Ujian Sama Persis Dengan Tahun Sebelumnya.

pada saat hari ujian tiba, siswa biasanya disibukkan untuk mencari soal ujian tahun lalu atau mencari bocoran soal pada siswa lain yang bereda jadwal ujiannya. siswa melakukan hal tersebut karena ada sebagian guru yang soal ujiannya sam dengan soal ujian tahun sebelumnya. mungkin, bagi guru apa yang dilakukannya adalah suatu hal yang mulia, karena memberikan kemudahan dan mengurangi beban siswa. tapi apa yang terjadi? siswa selalu menganggap enteng sehingga hanya tergantung pada soal-soal tahun lalu, apa jawaban yang sudah disusun rapi dalam suatu lembar kertas, dan siswa menjadi penghapal jitu yang tidak tahu maksud dari yang dihapalkan. sudah cukupkah pendidikan hanya mengukur kuantitas dari nilai hasil ujian perolehan siswa tanpa mengukur kualitasnya? bila ada yang menjawab ia, maka tinggalkanlah kebiasaan membuat soal ujian yang sama dengan tahun lalu karena hal itu merupakan pembodohan siswa yang membuat siswa menjadi layak untuk diberikan selogan ’ tong kosong nyaring bunyinya’ dan menjadikan siswa ’pintar-pintaran’ diatas selembar kertas yang dilegitimasi secara formal (kelembagaan).

5.Hukuman Yang Tidak Mendidik

Kesalahan guru dalam memberikan hukuman kepada siswa yang tidak disiplin dan melanggar peraturan sekolah adalah memberikan hukuman yang tidak mendidik. Hukuman yang tidak mendidik misalnya: tidak mengijinkan siswa untuk mengikuti pelajaran karena tidak membuat pekerjaan rumah, mengganggu teman atau terlambat masuk kelas, hukuman berditi didepan kelas, banyak terjadi disekolah dasar. jenis hukuman seperti ini masih memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerima materi yang disampaikan oleh guru. tetapi apabila hukuman mengeluarkan siswa dari kelas akan membuat siswa tidak bisa mengikuti pelajaran dan ini berdampak pada kesempatan siswa untuk mendapatkan ilmu, pengalaman baru melalui proses pembelajaran guru.

pendidik tidak harus selalu memberikan hukuman dengan kekerasan karena akan mendidik siswa untuk selalu berbuat kekerasan pula dimasa mendatang. kekerasan terhadap siswa banyak terjadi disekolah-sekolah dengan dalih menegakkan disiplin. bila kekerasan memang dibutuhkan dalam memberikan hukuman terhadap siswa yang membandal maka harus diperhatikan keadaan dan kondisi siswa dan jangan terlalu berlebihan. memberikan hukuman kepada siswa untuk membuat suatu karya tulis atau yang masih berkenaan dengan pelajaran dan lebih ada manfaatnya dari pada menyuruh siswa keluar kelas untuk tidak mengikuti pelajaran karena hanya akan memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan negatif bagi siswa untuk menghabiskan masa hukumannya diluar sekolah. perlu diperhatikan bagi pendidik, berilah hukuman dengan cara yang manis dan halus, hindari perkataan yang kasar atau membentak, serta buatlah suasana sesantai mungkin dan menyenangkan supaya tidak menimbulkan rasa pemberontakan dalam diri siswa.

6.Guru Yang Tidak Ideal

Seperti apakah guru yang idel? Guru yang ideal adalah sosok yang dapat digugu dan ditiru,suatu sosok yang menjadi panutan oleh siswa, masyarakat, dan bangsa. guru yang ideal harus profesional dalam menjalankan segala tugasnya sebagai pendidik, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, dan tentunya memiliki kompetensi-kompetensi yang diatur dalam UU No.14/2005 tentang guru dan dosen, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi akademik, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.

soejitno irnin dan Abdul Rochim(2004) mengemukakan lima pantanga seorang guru sejati, yaitu melakukan MOLIMO( Main, Madat, Maling, Minum, dan Madom), bersikap arogan, korupsi waktu, melakukan KKN, dan berbuat yang tidak pantas terhadap murid. dalam realita pendidikan, lima poin tersebut sering menjadi pemberitaan tindakan kriminal dimedia cetak maupun elektronik. banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya,guru yang korupsi, guru yang berbisnis dalam ijazah palsu, dan tindakan kriminal lainnya yang mencoreng citra seorang guru. Menjadi guru yang idealis diera ini sangat sulit, karena perubahan zaman telah menyebabkan perubahn pola fikir untuk menjadi materialistis. Untuk itu faktor kesejahteraan sangat berpengaruh pada knerja seorang guru. Slogan ”guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” jangan dibiarkan untuk memiskinkan guru karena tidak ada pemghargaan yang lebih baik dalam tingkat kesejahteraannya. Guru diIndonesia sering kesulitan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, keluarganya. Ditambah lagi dengan biaya pendidikan anaknya yang semakin meningkat. Keadaan diatas menjadi dilema bagi guru untuk menjadi seseorang yang idealisme,bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga bula gaji hanya cukup untuk ongkos pulang pergi kesekolah untuk mengajar dan membeli bahan pangan untuk sebulan bila tidak ada pekerjaan sambilan. Diharapkan dengan undang- undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen benar-benar dapat mengagkat kesejahteraan guru. Akan tetapi undang-undang apapun takkan berarti apa jika tidak diimplementasikan dengan tepat dan benar.

Selain faktor kesejahteran, lingkungan juga sangat mempengaruhi misalnya tidak mendapat dukungan dari teman sejawatbahkan ditentang oloh teman sekerja lainnya karena dianggap ”sok”. Sedangkan dalam pemberian penilaian kepada siswa dengan jujur dan objektif kecenderungannya mendapat tantangan seperti:

1. Dimarahi oleh atasan(kepala sekolah) karena atasan tidak menginginkan nilai siswanya rendah sehingga guru melakukan pengkatrolan nilai siswa yang rendah. Bahkan tidak jarang kasus guru yang dimutasikan kesekolah lain, karena menentamg perintah kepala sekolah untul mengkatrol nilai siswa. Begitulah bila kualitas sekolah hanya diukur dari kuantitas siswa yang lulus.

2. Idealis dalam memberi penilaian jug mendapat tantangan dari siswa atau orang tua siswa. Guru tidak bisa diterima, dibenci, dan mendapat ancaman bila memberikan nilai seadanya yang sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Sehingga tudak jarang guru dicap sebagai manusia yang tudak berprikemanusiaan karena kesadisaannya memberikan nilai.

3. Kondisi mental siswa. Guru yang mengajar didesa harus hati-hati menjaga nilai siswa jangan sampai menyebabkan siswa tersebut tidak naik kelas. Karena jika tidak naik kelas mereka lebih memilih pitis sekolah ketimbang mengulang satu tahun lagi.

Pembodohan dalam masyarakat

Kita sepakat bahwa pendidikan adalah tanggung-jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin, atau kaya, tua, muda, orang yang pintar atau tidak, pemerintah, siswa, guru. Jadi jika wajib peduli dengan pendidikan anak bangsa supaya tidak ada lagi masyarakat yang menganggap bodoh karena tidak pernah mengembangkan pemikiran melalui pendidikan dibangku sekolah. Memang benar, pendidikan tidak hanya diperoleh dari instansi sekolah saja. Pendidikan bersifat kekal selama kita masih hidup karena setiap apa yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari belajar. Namun pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang bersyarat, yang apabila memiliki bukti seperti sertifikat kelulusan dari sekolah atau instansi pendidikan.

Sering terdengar jawaban yang sangat mengecewakna dari orang-orang yang meremehkan pendidikan ketika ditanya mengapa tidak bersekolah. Meraka menjawab” mendingan saya kekebun menanam lada bisa menghasilkan uang dari pada sekolah yang lulus saja tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari orang yang tidak sekolah, akhirnya megang pacul juga. Mending tak usah sekolah toh... ngabisin uang dan waktu saja. Alasan lain juga menyangkut masalah ekonomi yang rendah sehingga mereka lebih mementingkan mengumpulkan uang dari pada sekolah. Tidak sedikit siswa yang terpaksa pitis sekolah karena diwajibka orang tuanya untuk membantu mencari nafkah.

Di daerah yang memiliki suatu perusahaan perkebunan sawit dan kebun teh banyak ditemukan anak usia sekolah yang menjadi pekerja dikebun tersebut. Mereka yang seharusnya berada dibangku sekolah, meniknati indahnya masa kanak-kanak terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarganya. Mereka memang memiliki alasan kuat untuk tidak sekolah karena keterbatasan biaya. Seharusnya pemerintah & perusahaan tanggap dengan keadaan tersebut. Bila pemerintah membebaskan biaya pendidikan dari SD-SLTP, mungkin tidak ada lagi anak usia sekolah yang terpaksa bekerja, dan disamping itu perusahaan jiga harus tegas untuk hanya menerima karyawan yang telah menempuh pendidikan tamatan SMP.

Sangat memberatkan bila sebuah perusahaan hanya menerima pekerja minimal tamatan SMP, dan juga tidak mungkin perusahaan merelakan usaha mereka hancur hanya karena kurangnya karyawan untuk membantu pengolahan usaha mereka. Akibatnya perusahaan akan menerima semua tenaga kerja baik yang berpendidikan ataupun yang tidak sama sekali. Inilah salah satu pembodohan siswa yang dilakukam oleh masyarakat. Orang yang berpendidikan diberlakukan sama dengan orang yang tidak berpendidikan, hal ini mengisaratkan bahwa pendidikan adalah suatu hal yang tidak penting.

Ada lagi tindakan perusahaan yang lebih parah dalam hal pembodoha. Nereka memberikan peluang pekerjaan yang banyak kepada orabg yang tidak berpendidikan dengan alasan menghemat keuangan,karena biasanya orang yang tidak berpendidikan bisa digaji dengan murah dan mudah diakal-akalin. Bagi masyarakat yang berekonomi lemah tidak kan berfikir dua kali untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut, bahkan tidak jarang anaknya disuruh berhenti sekolah dan melamar pekerjaan diperusahaan tersebut yang sudah tentu bakal diterima. Mereka tidak mempermasalahkan berapa gaji yang akan diterima, yang penting mereka bisa makan sehari-hari. Hanya wajar 9 tahun gratislah-lah yang dapat meringankan beban hidup mereka dan membuat senyum bahagia bangsa.

Ada beberapa hal yang dapat digolongkan dalam perilaku pembodohan siswa yang ada dalam masyarakat bangsa kita,diantaranya:

1. Budaya Kapitalis

Dalam dunia pendidikan kita masyarakat menerapkan hukum rimba yang diwarmai dengan tindakan kapitalisme. Sehingga timbullah slogan pendidikan kapitalis yang sering dielu-elukan oleh pelajar dan mahasiswa. Pendidikan kapitalis akan menguntungkan masyarakat yang kaya karena mereka mampu membeli pendidikan yang layak dalam artian memiliki mutu yang lebih karena sarana dan prasaranayang lengkap dan canggih. Dan para orang tua yang memiliki pemghasilan tinggi akan beramai-ramai memasukkan anaknya dengan memberikan sumbangan uang pendidikan yang besar, meskipun kemampuan dan kecerdasan anak pas-pasan. Ditambah lagi adnya kebijakan sekolah yang membuka jalur khusus bagi siswa baru yang dijamin lolos masuk bila membayar sumbangan yang besar, hal ini tersebut benar-benar menyamarakkan pendidikan kapitalisme. Dengan sistim seperti ini, pendidikan kita hanya akan melahirkan anak didik yang berwatak kapitalistik dan komsumeristik. Bahakan nilai-nilai moral, etika, dan norma menjadi bagian yang tidak penting atau tidak lagi dimiliki oleh siswa karena apapun bisa dibeli dengan uang. Tingginya biaya pendidikan dan sistem yang sangat kapitalistik tersebut mencekik leher masyarakat yang berpenghasilan pas-pas-an. Anak yang pintar tetapi ekonomi keluarganya sangat lemah, sudah pasti akan dilindas oleh sistim yang kapitalistik semacam itu,kecil harapan untuk mengecap pendidikan unggul dan mewah yang tentunya mahal. Sedangkan anak yang bodoh tetapi berduit dengan mudah memilih sekolah yang meraka mau. Selanjutnya bila sibodoh ynag kaya menjalani studinya sampai selesai maka sibodoh akan berjiwa kapitalis juga dan tidak akan memiliki bekal nurani yang mengedepankan nilai-nilai luhur tetapi memiliki jiwa yang mengedepankan haus kuasa.

2. Kurangnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan.

Pendidikan merupakan tanggung-jawab bersama antara masyarakat(termasuk orang-tua) dan pemerintah. Untuk itu, selayaknya masyarakat terutama orang tua siswa ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, baik pemikiran, tenaga, maupun finansial melalui Komite sekolah atau melalui wadah-wadah resmi lainnya. Walaupun pemerintah membebaskan biaya pendidikan atau memberikan subsidi, partisipasi masyarakat tidak boleh mati.

Anggapan yang kurang tepat bahwa saran dan prasarana sekolah adalah tanggungjawab pemerintah dan pihak sekolah merupakan bentuk kurangnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan,sikap acuh tak acuh atau masa bodoh dengan keadaan tempat belajar siswa hanya akan membiarkan siswa terpasung dalam kebodohan karena harus berbagi waktu belajar dengan kesibukan menyelamatkan dari rintikan hujan yang merembes lewat atap sekolah yang bocor atau mungkin akan libur total selama musim hujan.

Masyarakat yang peduli dengan pendidikan tidak hanya menutut pemerintah dan pihak sekolah dengan cara memvonis dan mengkritik. Tetapi cepat dalam mengambil tindakan dan respon terhadap problem sekolah yang menggangu proses belajar mengajar, tidak menunggu datangnya bantuan dari pemerintah yang lamban dalam mengurus hal-hal seperti itu. Segala bentuk bantuan tidak hanya berupa finansial, tetapi yang lebih berharga adalah bentuk perbuatan. Masyarakat dapat membagi peran mereka bagi yang masyarakat mampu dapat memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau barang, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki suatu benda untuk diberikan cukup dengan menyumbangkan energi mereka untuk memperbaiki bagian bangunan yang rusak. Dan apabila pemerintah memberikan dana maka masyarakat harus tetap berpartisipasi dengan membantu merenovasikan bangunan yamg rusak. Dengan demikian, tidak ada kasus siswa tidak sekolah karena ruang belajar mereka rusak.

3. Ijazah palsu

Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengan ijazah palsu? Pertama ijazah palsu adalah karena orang tersebut tidak pernah masuk dunia lembaga pendidikan, pemegang ijazah tersebut tidak tercatat dalam dunia lembaga pendidikan.

Kedua ijazah dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang fikif. Perguruan tunggu fiktif dulu sempat terjadi di Kota Bandung. Lembaga pendidikan seperti ini secara hukum tidak ada dan tidak tercantum sebagai pendidkan formal. Dengan demikian pemilik ijazah dari perguruan tinggi fiktif tersebut disebut dengan pemilik ijazah palsu.

Disamping masyarakat Indonesia yang gila gelar, juga disebabkan oleh pola pikir pelaksana pendidikan yang pragmatik dan kapitalistik. Fenomena ini kian mempertegas mengenai borok dunia pendidikan. Secara teoritis, fenomena ini dapat digambarkan sebuah titik pertemuan adanya sikap gila gelar-nya masyarakat Indonesia dengan sikap pragmatik dan kapitalistik-nya pengelolah pendidikan.

Pemalsuan ijazah bisa terjadi dengan adanya keterlibatan pengelolah pendidikan. Modus yang sering terjadi ditingkat pendidikan sekolah dasar dan pendidikan menengah adalah melalui proses pengikutsertaan peserta fiktif dalam bangku sekolah. Dengan dibantu oleh kekuasaan kepala sekolah anak tersebut secara fiktif dapat mengikuti ujian seperti peserta lainya.

Teknisnya bisa beraneka ragam, misalnya anak tidak pernah sekolah namun muncul saat ujian akhir sekolah. Anak tudak ikit ujian akhir sekolah namun mengikuti ujian susulan yang diadakan sekolah. Dalam ujian susulan disekolah ini biasanya pelaksana, pengawas dan pesertanya sangat terbatas. Oleh karena itu peserta ujian akhir nasional (UAN) fiktf ini dapat leluasa.

Masyarakat yang saat ini, lebih berorientasi pada ijazah, bukan pada kualitas pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidak-pedulian masyarakat kepada pendidikan. Oleh karena itu gelar merupakan satu-satunya acuan status social pendidikan seseorang. Sementara masalah kwalitas pendidikannya, menjadi pertimbangan yang selanjutnya.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa masyarakat yang gila gelar dan pengelolah pendidikan yang bersikap pragmatik dan kapitalis, memiliki imbas terhasap terbangunnya sebuah masyarakat yang tidak peka terhadap pendidikan, dan pelecehan terhadap kecerdasam atau akal manusia. Pelaku ini mengangap bahwa kecerdasan(ijazah) bisa ditukar dengan materi, dan kebodohan bisa ditutupi dengan selenbar kertas. Dan jika hal demikian masih tetap dibiarkan terjadi, dunia pendidikan Indonesia akan tetap terpuruk.

4. Kebijakan yang salah awal pembodohan

Perlu diakui bahwa kwalitas pendidikan Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab dan beban bagi pemerintah. Namun kritikan dan masukan tidak pernah surut terhadap pemeritah selaku pemberi kebijakan terutama dalam hal pendidikan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memiliki tujuan yang sangat baik untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Hanya pemerintah kurang memperhatikan mekanisme yang baik serta terkesan memaksa kebijakan pada keadaan, tempat dan objek yang belum memiliki kesiapan lahir dan batin. Akibatnya apa yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan malah menurunkan moral pelaku kebijakan karena target kebijakan dicapai dengan segala cara. Beberapa Tindakan pembodohan siswa karena dampak dari kesalahan kebijakan pemerintah:

A. Buku Mahal

Di Indonesia, harga buku sangat mahal karena disebabkan berbagai faktor yaitu jalur distribusi yang panjang, pajak yang tinggi, serta kebocoran(pemalsuan) yang dialami oleh penerbit buku lokal. Harga bukuyang mahal juga disebabkan kerena penerbit buku juga harus menanggung pajak import kertas, rabat untuk distributor 30-40% untuk distributor, serta biaya siluman oknum pemerintah agar buku tersebut dapat dicetak dan dijual.

Biaya pengadaan buku disekolah selama ini menjadi beban orang tua siswa setiap menjelang tahun ajaran baru. Apalagi dengan kurikulum yang selalu berubah-ubah, siswa terpaksa mengganti buku baru walaupun sebenarnya buku ajar yang baru isinya hampir sama dengan buku lama, hanya saja halaman judulnya yang dipermak lebih bagus. Pemerintah memang telah berupaya meringankan beban orang tua siswa SD-SMP dari biaya pendidikan melalui pengadaan buku gratis dalam bentuk operasional sekolah(BOS). Namun pengadaan buku gratis tersebut diperkirakan belum bisa efektif karena hanya untuk satu mata pelajaran. Padahal setiap tahunnya orangtua siswa harus membeli buku untuk 8-10 mata pelajaran.

B. Pengadaan dan penyebaran guru.

Kekurangan guru adalah masalah klasik didunia pendidikan Indonesia. Depdiknas mencatat kekurangn guru di Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 427.903 orang. Pemerintah mengatasi kekurangan guru dengan mengangkat tenaga guru bantu sebanyak 190.714 orang. Namun tenaga guru bantu tersebut masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan, kekurangannya lebih dari 50%. Kekurangan guru yang cukup besar itu menghambat kwalitas pendidikan karena guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kwalitas pendidikan. Kekurangan tentunya akan menghambat proses belajar mengajar, bahkan tidak jarang seorang guru mengajar pada bidang yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya. Tentunya kejadian tersebut secara tudak langsung memacu proses pembodohan siswa.

Mengenai penyabaran guru, ada sesuatu yang janggal dalam penyebaran guru oleh pemerintah. Menurut penuturab seorang guru penyebaran guru didaerh tidak sesuai dengan kebutuhan tenaga pengajar disekolahnya. Sekolah mengajukan permohonan kepada Depdiknas, kemudian Depdiknas melanjutkan permohonan kePemda, karena Pemda yang mengatur distribusi ketenagakerjaan didearah. Pemda menugaskan dua orang guru matematika untuk mengajar disekolah tersebut, padahal sekolah tersebut mengajukan guru inggris. Akibatnya sekolah mengerjakan guru honorarium yang kwalitasnya diabaikan, asalkan jam pelajaran siswa tidak kosong. Entah siapa yang salah, Pemda atau Depdiknas. Amat disayangkan pihak Depdiknas tidak mempermasalahkan kejanggalan ini dan hanya diam-diam saja tidak mengambil tindakan.

C. Standarisasi kelulusan Siswa.

Pemerintah selalu menaikkan nilai standarisasi kelulusan siswa setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah tersebut dilandasi trend semangat baru tentang kualitas pendidikan. Berbagai pro dan kontra diutarakan oleh masyarakat. Sebagian menyambut bauk kebijakan pemerintah tersebut karena meningkatkan mutu pendidikan, dan sebahagian lagi menolak karena dianggap mempersulit siswa dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan malah sebaliknya akan meemrosotkan mutu pendidikan.

D. Mendiskriminasikan keberadaan sekolah swasta

Menurut St. Kartono(2002), pejabat Depdiknas mengangap sekolah swasta sebagai pesaing sekolah negeri yang harus dilibas. Pendapat St. Kartono tersebut didukung dengan adanya kebijakan-kebijakan yang merugkan dan tidak mendukung keberadaan sekolah swasta. Dalam hal ini pemberian subsidi, sekolah negari diperbolehkan memungut iuran BP3 tanpa batas padahal honor guru sudah banyak menjadi tanggungan pemerintah, mendapatkan bantuan berupa buku yang diperoleh dari dana APBD.yang bisa digunakan untuk meningkatkan kwalisnya. Sedangkan sekolah swasta bersusah payah mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga harus bersusah payah mencari dan mengelolah dana yang tergolong rendah dan hanya ,mengandalkan iuran dari orangtua siswa untuk biaya operasional, sekaligus meningkatkan mutu, membayar guru dan lain-lain. Padahal sekolah swasta dituntut untuk bisa berkualitas setara dengan sekoah negeri.

Bentuk diskriminasi lain Sekolah swasta dipebolehkan membuka pendaftaran sekolah setelah SMA-SMA unggulan dan negeri selesai memgadakan penyaringan. Kebijakan ini tentu sangat merugikan sekolah swasta karena selain akan merendahkan mutu sekolah, sekolah swasta akan kebahagian siswa yang memiliki intelektual rendah karena siswa yang NEM-nya tinggi telah tersaring disekolah-sekolah negeri atau swasta yang memiliki fasilitas yang mendukung dan biasanya siswanya kebanyakan berasal dari orang-orang berduit. Seharusnya sekolah negeri diperuntukkan bagi warga negara yang melarat dan miskin karena dibiayai oleh rakyat, sekarang unu dunia pendidikan sudah terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidkan anak-anak orang kaya yang sekolah dinegari,sementara mereka yang anak orang miskin tidak bisa bersekolah karena tidak mampu menanggung biaya disekolah swasta. Pendiskriminasian yang dimaksidkan pada sekolah swasta yang hanya memiliki sedikit dana untuk memperlengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti sekolah swasta yang mempunyai cukup dana atau bahkan lebih.

Hapuskan pembodohan dalam pendidikan

Menurut Amich Alhumani(kompas, 15 juni) ditanggapan politisi, pendidikan hanya dijadikan jargon kampanye belaka sebab merek tidak sampai menukik kepembahasan yang lebih substansial berkenaan dengan isu mutu, sistem,manajemen, birokrasi pendidikan dan tekhnik operasionalnya. Dalam pandangan politisi, pendidikan yang sejatinya merupakan isu kritikal dalam pembangunan bangsa ini, ken\midian mengalami degaradasi yakni hanya sebagai ”komodotas poltik” semata. Dalam kampanye, politisi acap kali memperlakukan pendidikan layaknya seperti barang dagangan yang dijual kepasar pemilih, terutama dikalangan masyarakat yang selama ini tidak mampu mengaksesnya. Tidak dapat dihindari lagi, yang muncul hanyalah janji-janji seperti menaikkan anggaran pendidikan sebesar 25% atau lebih dari APBN. Beberapa waktu lalu seorang calon presiden berbicara secara berapi-apiditengah kerumunan massa yang mengikuti kampanye, jika kelak terpilih menjadi presiden ia akan membebaskan biaya pendidikan mulai dari SD sampai SMA..

Janji-janji politik seperti diatas jelas utopia belaka, upaya meningkatkan anggaran pendidikan sampai 25%bahkan melabihi ketentuan konstitusi yang mengamanatkan sebesar 20% sangat sulit dilakukan, ini disebabkanoleh kapasitas anggaran belanja negara yang masih sangat terbatas, sementara hampir semua bidang pembangunan penting dan mendesak untuk mendapat alokasi anggaran yang memadai. Dengan anggaran yang terbatas, pemerintah mengalami kesulitan yang serius dalam mendistribusikan dana yang ada kebidang-bidang pembangunan yang dianggap menjadi prioritas utama.

Kepekaan pemerintah sangat diperlukan dalam bidang pendidikan. Kepedulian kepada pemdidikan menjadi tolak ukur suatu bangsa dalam menentukan nasib bangsa kedepan.

Menurut Nurwanto, mahalnya pendidikan disebabkan oleh pola kehidupan bernegara yang berorientasi mencari laba, orientasi global yang kuat tetapi tanpa landasan yang objektif untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, buruknya moralitas peguasa dan birokrat sehingga tidak ada itikad naik, dan bangunan sistim ekomoni yang lemah sehingga mempercepat krisis. Untuk itu pemerintah harus melakukan 4 hal, yaitu:

1. meningkatkan anggaran pendidikan yang dialokasikan

2. aspek keadilan dalam pengalokasian dana anggaran pendidikan

3. aspek efisiensi dalam penggunaan dana pendidikan

4. anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan

Para deklarator negara dimasa lalu telah merumuskan agar tidak nerlakudiskriminasi terhadap rakyat miskin. Hal ini bukan karena pemerintah tidak mampu membiayai tetapi masing-masing orang dibangku pemerintahan lebih mementingkan untuk menggeluti kapitalisme yang notabene bukan hakl mereka.

Dengan melibatkan berbagai pihak, pemerintah memiliki perhatian khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang besardalam bidang pendidikan karena pemerintahlah yang memegang kebijakan dalam menyikapi permasalahan. Seperti janji yang termaktub dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, prioritas pendanaan untuk pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN & APBD.

Banyak proyek pendidikan yamg tidak kena sasaran dan justru sumber korupsi pejabat birokrasi sektor pendidikan. Melihat banyaknya gedung sekolah yang eubuh padahal baru didirikan pada periode 80-an dan 90-an merupakan bukti nyata bahwa praktek korupsi dan penggelembungan dana dalam proyek-proyek pedidikan telah melenbaga dalam birokrasi pendidikan. Belum lagi praktek pungli, korupsi sekolah yang telah menjadikan biaya pendidikan.

Saat ini diperlukan reformasi manajement pengelolaan anggaran pendidikan berdasarkan prinsip akuntabilitas, profesionalisme, dan bertanggung-jawab. Perlu sebuah skenario politik untuk menyelamatkan efisiensi dan evektivitas penggunaan anggaran pendidikan apabila benar-benar oleh pemerintah direalisasikan menjadi 20% dari total belanja APBN. Anggaran pendidikan apabila telah tercapai 20% dari APBN harus diabdikan untuk memenuhi program pelayanan pendidikan murah dan berkualitas bagi seluruh anak didik bangsa. Anggaran tersebut dalam logika akal sehat cukup untuk menggratiskan biaya SPP siswa SD-SMA seluruh indonesia, memeratakan pendidikan sampai pelosok kota terpencil. Anggaran sebesar itu juga cukup untuk membiayai program penimgkatan kompetensi guru dan berbagai orientasi peningkatan pendidikan yang akuntabel.

Tugas masyarakat-pun tak kala penting dalam meperhatikan lingkungan kehidupan anak yang kurang mampu. Dalam hal ini anak harus diberlakukan sama seperti anak pada umumnya. Artinya tidak ada tindakan diskriminasi, tidak membedakan ini anak orang kaya dan ini anak orang miskin. Bentuklah lingkungan yang mampu menggugah anak untuk lebih maju menuntut ilmu dan berkepribadian santun.

Merancang dana pendidikan anak

Pendidikan dinegeri ini tidak murah, karena itu dibutuhkan sebuah perencanaan keuangan yang baik bagi setiap orangtuauntuk mendukung pendidikan bagi putra-putrinya. Sepertinya orangtua memiliki cita-cita agar anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik dan setinggi mungkin. Karena bagaimanapun warisan yang paling berharga adalah pendidikan. Tetapi menyiapkan biaya prndidikan anak, tidaklah mudah, dibutuhkan stategi dan persiapan yang matang agar tersedia dana yang cukup saat tiba waktunya sikecil memasuki jenjang pendidikan yang dituju. Menurut Priyadi Setiawan, ada beberapa hal yang bisa anda jadikan panduan untuk merancang pendidikan anak yaitu:

1. Tentukan tujuan atau target pendidikan anak. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak yang diinginkan biasanya semakin tinggi pula biaya pendidikan yang perlu dipersiapkan.

2. Perhitungan variabel-variabel yang mempengaruhi pencapaian dana pendidikan tersebut. Yaitu kapan biaya tersebut dibutuhkan, asumsi kenaikan biaya pendidikan per tahun.

3. Carilah informasi mengenai instrument finansial yang bisa memenuhi target dana pendidikan. Termasuk memenuhi unsur proteksi finansial misalnya dengan mengukiti biaya asuransi pendidikan.

4. Analisis informasi dari point pertama sampai ketiga dan jawab pertanyaan berikut ini:

* Apakah tingkat pendidikan sudah sesuai dengan cita-cita anda?

* Apakah anda mampu menabung secara rutin dengan jumlah yang mencukupiuntuk mencapai target berdasarkan asumsi yang telah anda gunakan?

* Apakah ada instrumen yang mampu memberikan bunga sebesar asumsi yang anda asumsikan dalam perhitungan anda.

5. Pilihlah produk mana yang akan anda pakai sebagai wahana finansial untuk mencapai target dana pendidikan.

6. Lakukan evaluasi rutin setiap 6 bulan untuk melihat apakah asumsi yang anda gunakan tercapai atau tidak.

Menurut Safir Senduk ada beberapa alternatif investasi yang bisa dipilih orang tua dalam mempersiapkan dana pendidikan anak mereka yaitu:

1. Tabungan di Bank

2. Deposito

3. Tanah

4. Emas

5. Asuransi pendidikan

6. Reksa dana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar