Senin, 04 Mei 2009

Adalah Sekolah Darurat Kartini yang mengajak kaum terpinggirkan untuk bersekolah. Tak pakai biaya, yang penting mau bersekolah dan belajar. Sekolah yang terletak di pinggir Jalan Tol Lodan Raya (Sundakelapa -Tanjung Priok), ini disesaki oleh anak-anak berusia belasan tahun. Mereka anak-anak dari pedagang asongan, pemulung, tukang bangunan, dan tukang ojek, yang ingin meraih cita-cita setinggi langit.

Sejak pukul 07.00 sekolah dibuka hingga pukul 10.00 untuk murid taman kanak-kanak belajar dan bermain. Sedangkan dari pagi hingga tengah hari, murid sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) belajar pengetahuan umum. Setelah itu, siswaSD-SMA belajar keterampilan.

”Saya belajar membuat serbet makan,” ucap siswa kelas 6 SD, Fauziah (13), di SD Darurat Kartini, Ancol, belum, lama ini. Ia mengatakan, sejak kelas tiga SD sudah belajar ketrampilan. Sapu tangan dan taplak meja itu dijahit tanpa menggunakan mesin. Menurutnya, hasil karyanya itu dijual ke pertokoan dengan harga Rp 100.000 per set. ”Bahannya dikasih sama Bu Guru, tapi hasil jualannya untuk saya,” katanya.

Sedangkan Maulana (15), siswa kelas 3 SMP itu belajar memasak. Ia belajar membuat sop buntut dan hasil karyanya itu disajikan saat penyerahan sumbangan dari PT Hero Supermarket Tbk di sekolahnya. Ia berencana menjadi seorang ahli masak. ”Nanti, kalau sudah pandai memasak mau bikin usaha sendiri,” tuturnya. Begitu juga dengan Eli (13) yang belajar membuat minuman dari buah-buahan segar. Anak bungsu tukang ojek itu ingin suatu saat ini menjual keahliannya tersebut.

Menurut pendiri Sekolah Darurat Kartini, Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih, yang akrab disapa Ibu Kembar, pendidikan sangat penting untuk anak-anak. Akan tetapi, hanya berbekal pengetahuan saja tidak cukup. Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, anak-anak juga memerlukan keterampilan. ”Setelah belajar pengetahuan umum mereka harus belajar keterampilan,” ucap Rossy, panggilan Sri Rosiyanti.

Biar Jauh Tetap Dikejar

Umumnya anak-anak yang bersekolah di Sekolah Darurat Kartini tinggal tidak jauh dari sekolah tersebut. Namun, ada juga yang harus menempuh perjalanan setengah jam berjalan kaki ke sekolah itu. Zubaedah, contohnya, ia setiap hari mengantarkan anaknya yang duduk di bangku TK ke Sekolah Darurat Kartini. ”Kalau naik angkutan, uangnya nggak ada,” ujar perempuan yang bersuamikan kuli bangunan itu.

Ia mengatakan, taman kanak-kanak lain menetapkan bayaran sekolah yang tinggi. Tapi, di Sekolah Kartini, ia tidak membayar sepeser pun. Malah, setiap hari anaknya mendapat susu segelas dan makan nasi lengkap dengan lauk pauknya. ”Cuma, sekolahnya agak berisik. Semua kelas digabung jadi satu. Belum lagi, kalau ada kereta lewat, suara guru yang mengajar jadi nggak kedengeran,” tuturnya.

Walaupun kondisi sekolah masih minim, ia bersyukur anaknya bisa mengenyam pendidikan. ”Ibu-bapaknya nggak punya banyak duit, tapi mudah- mudahan anak saya bisa sekolah yang tinggi,” ujar Zubaedah

sumber: http://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com/category/pendidikan-anak-jalanan/ penuh harap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar