Rabu, 13 Mei 2009

PENGKAJI TANTANGAN PENDIDIKAN NASIONAL Bimbingan Belajar Sebagai Buah Kejelian

SEJAK Mendiknas Bambang Sudibyo menetapkan bahwa Ujian Nasional-yang sebelumnya bernama Ujian Akhir Nasional-tetap dilaksanakan tahun ini, pandangan dan argumen yang pro dan kontra terus bergulir. Bahkan “perseteruan” antara Komisi X DPR dengan Mendiknas dan jajarannya terus mengalir, kendati telah ada lobi dan negosiasi untuk mendekatkan kepentingan masing-masing.

Mendiknas dan jajarannya mengusung kepentingan agar mutu pendidikan kita bisa terus ditingkatkan melalui standar kelulusan 4,25. Sedang anggota legislatif bersikeras pada pandangannya bahwa urusan evaluasi belajar adalah wewenang guru di sekolah masing-masing, sehingga tidak perlu dicampuri oleh siapa pun, termasuk pemerintah. Tapi ironisnya, ketika saya menjadi anggota tim validasi UAN di empat propinsi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas guru masih menghendaki ujian nasional tetap diadakan.

Titik temu yang akhirnya disepakati mengarah pada perlunya dibentuk suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan, sebagaimana tersebut dalam pasal 35 UU Sisdiknas.

Kendati waktu yang dimiliki untuk menyusun perangkat standar pendidikan nasional sangatlah pendek, namun usaha yang dilakukan Depdiknas untuk mewujudkan amanat UU terus dilakukan. Salah satunya adalah menyiapkan peraturan pemerintah yang berkait dengan standar pendidikan nasional.

Dalam draft yang diajukan pemerintah, yang sempat dibahas dalam lokakarya di Yogya Februari lalu, sebagian besar pasal-pasalnya berbicara tentang pendidikan formal atau sekolah. Sebagian kecil lainnya menyinggung pendidikan non formal dan pendidikan informal alias keluarga. Dengan demikian, ketika kita ramai-ramai membicarakan pendidikan nasional, itu sebenarnya sama saja dengan bicara soal sekolah. Pertanyaan yang kemudian bisa kita ajukan, sanggupkah sekolah mewujudkan proses dan hasil pendidikan yang bermutu tanpa keikutsertaan pendidikan non formal dan informal ?

Munculnya kursus-kursus ketrampilan, bimbingan belajar, dan kegiatan-kegiatan lain yang sejenis, baik yang dilakukan perorangan maupun lembaga, sebenarnya mengindikasikan bahwa sekolah saja tidaklah sanggup untuk mewujudkan mutu pendidikan yang kita harapkan.

Jauh-jauh hari Ki Hajar Dewantara menekankan tentang perlunya tri pusat pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat-bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mendiang Pater Drost juga mengingatkan kita semua bahwa sekolah sebenarnya lebih banyak porsi pengajarannya daripada pendidikannya. Karena itu keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam membentuk moral dan karakter anak.

Orang boleh saja menganggap bahwa bimbingan belajar itu sebenarnya tak perlu ada. Atau yang lebih ekstrim, bimbingan belajar itu harus dilarang, karena dianggap bisa ‘merusak’ logika berpikir yang telah ditanamkan sekolah. Konsep-konsep dan teori-teori yang diajarkan dengan susah payah oleh para guru untuk menjadi fondasi berpikir ilmiah, tiba-tiba diterjang begitu saja oleh bimbingan belajar dengan ‘jurus-jurus’ praktisnya. Tapi apakah hanya itu yang dilakukan oleh lembaga bimbingan belajar ? Mengapa masyarakat akhirnya merespons sedemikian rupa kehadiran bimbingan belajar, sehingga tetap eksis sampai hari ini?

Jika dilihat dari teori pemasaran dan mekanisme pasar, hadirnya bimbingan belajar adalah buah dari kejelian orang melihat kebutuhan murid yang tidak terpenuhi di sekolah maupun di rumah. Yakni kebutuhan yang berkait dengan proses belajar yang variatif dan menyenangkan, serta kebutuhan untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal dengan menggunakan cara-cara yang lebih simpel dan praktis.

Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya jika anak mendapat berbagai tekanan orangtua ketika belajar di rumah, atau mendapati suasana yang begitu-begitu saja ketika belajar di sekolah? Apakah hasil yang akan mereka peroleh bisa benar-benar maksimal ? Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi mengapa bimbingan belajar itu dibutuhkan masyarakat.

Jika dilihat dari aspek edukasi, hadirnya bimbingan belajar sesungguhnya telah menghadirkan banyak manfaat positif bagi anak didik. Di antaranya adalah, pertama, bimbingan belajar mengembangkan suasana kompetitif bagi para murid. Jika mereka di sekolah, ‘lawan’ yang dihadapi berasal dari satu sekolah. Tidak demikian halnya ketika mereka berada di bimbingan belajar. Sebagai bangsa yang harus siap berkompetisi dalam era globalisasi, menanamkan jiwa dan sikap kompetitif sejak dini merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi pendidikan itu adalah investasi, bukan sebuah proses yang tiba-tiba, sehingga menanamkan nilai-nilai sejak awal menjadi sebuah keharusan.

Kedua, bimbingan belajar menjadi alternatif tempat yang kondusif bagi berkembangnya pola pikir dan nalar ilmiah, sesudah sekolah. Iklim yang berkembang di tempat-tempat bimbingan belajar telah membentuk sikap mental anak untuk makin terpelajar.

Bandingkan dengan tempat-tempat lain, semacam mal, arena ketangkasan, arena bermain play station, atau tempat-tempat lain yang justru sering mencemaskan orangtua. Dengan iklim seperti itu, jarang atau bahkan tidak pernah terdengar ada pertengkaran atau perkelahian antar peserta bimbingan belajar. Ini tentunya fakta yang harus disyukuri oleh siapa pun.

Ketiga, bimbingan belajar yang pengelolaannya lebih fleksibel dibanding sekolah memiliki akselerasi yang lebih tinggi dalam menyosialisasikan informasi-informasi tentang perkembangan ilmu dan teknologi dalam pembelajaran.

Dalam hal pemilihan jurusan, misalnya, bimbingan belajar memiliki data yang lengkap dan akurat tentang peta persaingan perguruan tinggi. Lewat data-data ini, para siswa diberi arahan tentang fakultas, jurusan, atau program studi yang cocok dengan minat dan kemampuan siswa, plus prospek lulusannya di kemudian hari.

Dengan demikian diharapkan agar jika kelak siswa yang bersangkutan telah diterima di fakultas, jurusan, atau program studi pilihannya, ia akan lebih bersungguh-sungguh dalam menekuni ilmu yang dia pelajari. Kalau ini terlaksana, para lulusan perguruan tinggi tentu akan memiliki diferensiasi dan daya saing yang bisa diandalkan.

Hal-hal lain yang berkait dengan pengembangan pribadi yang juga sering diberikan kepada para siswa, adalah manfaat keempat dari kehadiran bimbingan belajar. Ceramah atau pelatihan semacam Achievement Motivation, Leadership, Emotional Intelligence, Multiple Intelligence, adalah beberapa contoh materi yang sering diterima peserta bimbingan belajar. Ketika materi-materi semacam itu diberikan kepada para siswa, mereka mengaku bahwa rasa percaya dirinya menjadi makin meningkat. Padahal rasa percaya diri merupakan bagian yang sangat penting untuk menjangkau prestasi yang lebih maksimal.

Itulah beberapa manfaat yang bisa kita catat dari kehadiran bimbingan belajar. Sehingga patut disesalkan jika ada segelintir orang yang mengatakan bahwa diberlakukannya Ujian Nasional hanya akan menguntungkan lembaga-lembaga bimbingan tes atau bimbingan belajar. Sebuah pernyataan yang terburu-buru dan mengingkari kenyataan. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa yang pernah mengikuti bimbingan belajar, sebagian besar memiliki track record yang bagus selama di perguruan tinggi. Paling tidak, itulah yang pernah disinggung Prof. Boma saat menjelaskan tentang mekanisme penerimaan mahasiswa baru beberapa tahun silam.

Namun agaknya penyakit reaktif dan curiga lebih mewarnai alam pikiran masyarakat kita. Berbagai upaya yang dilakukan oleh sebagian kecil komponen masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, sering disikapi dengan nada miring atau sumbang. Bimbingan belajar atau pendidikan non formal pada umumnya, sebenarnya bukan ‘musuh’ nya sekolah, bukan pula ‘musuh’ nya para guru yang menyelenggarakan privat di rumahnya masing-masing. Kehadiran mereka, ibarat mozaik, adalah untuk melengkapi dan memperindah suasana.

Akhirnya, mari kita renungkan bersama : andaikan bimbingan belajar itu tak pernah ada, apakah ada jaminan bahwa pendidikan kita akan menjadi lebih baik ? Andaikan bimbingan belajar itu ‘merusak’ pola pikir anak, apakah masih dibutuhkan oleh masyarakat hingga hari ini? q - o

sumber: http://www.primagama.co.id/info/lihatKolom.php?act=lihat&idNya=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar