Senin, 04 Mei 2009

INTERAKSI SOSIAL ANAK TUNANETRA DI SLB

Memasuki lingkungan baru selalu menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh kelainan. Termasuk anak tunanetra. Baik bagi mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi mereka
yang sudah bersekolah. Persoalan berat akan sangat terasa bagi mereka yang baru
pertama kali memasuki dunia sekolah. Beragam kesan dan rasa muncul pada dirinya.
Umumnya lingkungan baru memberikan rasa tidak nyaman bagi anak tunanetra, kadang
dibarengi dengan ketakutan-ketakutan yang sangat berlebihan. Setiap langkah yang
ditapaki anak tunanetra menjadi masalah baginya. Teman yang menghampiri, menjadi
seseorang yang amat asing untuk dikenalnya. Ia akan menarik diri jika ada yang ingin
berkenalan dengannya. Sikap egois, cepat marah, mudah curiga, takut terhadap
lingkungan baru, dan sebagainya. Jelasnya, anak tunanetra kurang dapat melakukan
interaksi sosial yang memuaskan atau interaksi sosialnya mengalami keterbatasan.
Keadaan ini tentunya menimbulkan persoalan tidak saja bagi sang siswa, tetapi juga
bagi guru dan teman-teman di lingkungan sekitarnya.

Interaksi merupakan perhatian timbal balik antara dua orang atau lebih terhadap
suatu objek atau orang ke tiga. Perhatian timbal balik ini sering kali direspon
dengan isyarat, ujaran atau tindakan. Soerjono Soekanto (1986: 51) mengutip pendapat
Young dan Raymond dan Gillin dan Gillin menjelaskan, bahwa: “Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.”

Anak tunanetra memiliki ganguan fungsi penglihatan baik sebagian atau seluruhnya,
sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan dirinya, seperti: pada
perkembangan kognitif, perkembangan akademik, perkembangan orientasi dan mobilitas
serta perkembangan sosial dan emosi. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra dalam
menjalankan perannya sebagai makhluk sosial seringkali mengalami hambatan-hambatan.
Ini dikarenakan anak tunanetra kurang mampu memiliki persyaratan-persyaratan
normatif yang dituntut dari lingkungannya, misal: kemampuan untuk menyesuaikan diri
dalam bergaul, cara menyatakan terimakasih, saling menghormati, kemampuan dalam
berekspresi, cara melambaikan tangan, dan lain-lain.

Adanya perubahan lingkungan baru bagi anak tunanetra memberikan benturan-benturan,
yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Anak tunanetra
harus dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial dalam lingkungan sekolah. Bagi
anak tunanetra hal ini sangatlah sulit, karena anak harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru di sekolah, baik secara pasif maupun secara aktif.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku sosial dalam
berinteraksi dengan lingkungan, mereka harus mampu memanfaatkan alat indera lain.
Alat indera yang dapat dikembangkan seperti: pendengaran, perabaan, penciuman dan
pengecap. Hal ini sebagai upaya memperlancar interaksi sosial dengan lingkungannya,
walaupun hasilnya tidak sebaik dan selengkap jika dibarengi dengan adanya indera
penglihatan.

Selain itu, adanya kesiapan mental anak tunanetra untuk memasuki lingkungan baru
atau kelompok lain yang berbeda, akan sangat baik dalam pengembangan sosialnya.
Sebaliknya, ketidaksiapan mental anak untuk masuk ke dunia baru sering mengakibatkan
anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Jika
kegagalan dianggap sebagai tantangan dan merupakan pengalaman yang terbaik, maka hal
ini akan menjadi modal utama untuk memasuki lingkungan baru berikutnya. Namun
apabila kegagalan tersebut merupakan ketidakmampuan, maka akan timbul rasa
frustasi/putus asa, menarik diri dari lingkungan.

Keterbatasan interaksi sosial pada anak tunanetra patuh dipahami oleh semua pihak,
terutama orang tua dan guru. Orang tua dan guru berkewajiban mengupayakan agar
interaksi sosial yang dimiliki anak tunanetra dapat ditingkatkan. Guru mempunyai
peranan penting dalam menghadapi anak tunanetra agar mampu berinteraksi dengan
lingkungan di sekolah, sebab guru sebagai orangtua di sekolah yang harus siap
melayani pendidikan anak tunanetra dengan segala bentuk kekurangannya, khususnya
dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar
Biasa.

Faktor-faktor yang dapat menghambat interaksi anak tunanetra ketika berada di
sekolah yaitu:
1. Pengalaman buruk yang diterima sebelum berada di sekolah.
2. Mobilitas yang belum terlatih, sehingga memunculkan keraguan pada diri anak untuk
melakukan kontak sosial dan komunikasi.
3. Persepsi yang ditanamkan orang-orang terdekat terhadap kontak sosial.
4. Minat yang dimiliki anak tunanetra.
5. Peran individu lain di lingkungan sekitarnya terhadap kehadiran dirinya.

Interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa juga dipengaruhi oleh
perbedaan kepribadian dan kecakapan yang dimiliki anak. Dalam hal ini, guru memiliki
peran yang sangat besar untuk terlibat dalam interaksi sosial anak tunanetra di
sekolah. Peran yang dilakukan guru yaitu, mengadakan hubungan dengan guru-guru lain,
teman-teman seusia dan orang lain yang ada disekitar lingkungan sekolah. Pengalaman
dalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua, juga sangat
menentukan kepribadian dan kecakapan anak tunanetra pada saat berada di sekolah.

Sekolah memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang berbeda dengan norma-norma dan
aturan-aturan yang berlaku di rumah. Di sekolah anak tunanetra akan dihadapkan pada
berbagai aturan dan disiplin yang berlaku pada lingkungannya. Masa transisi dari
orientasi lingkungan keluarga ke sekolah tidaklah mudah. Hal ini sering menimbulkan
masalah pada anak tunanetra. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam menghadapi
lingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkan
gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapi
pada suatu kenyataan dan tantangan, maka hal ini biasanya menjadi modal utama dalam
menghadapi lingkungan yang baru. Namun jika kegagalan dihadapi sebagai suatu
ketidakmampuan, maka sikap-sikap ketidakberdayaan yang akan muncul menumpuk menjadi
sebuah rasa putus asa yang mendalam dan akhirnya menghindari kontak sosial.

Pengalaman sosial yang dimiliki seseorang dapat menentukan daya yang memungkinkan
seseorang dapat menguasai lingkungan, penguasaan diri atau hubungan antara keduanya.
Adanya kehilangan fungsi penglihatan pada anak akan mengakibatkan terjadinya
keterpisahan sosial. Anak dengan ketunanetraan seringkali mengalami kesulitan untuk
menyelaraskan tindakannya pada situasi yang ada. Keterbatasan kemampuan yang
dimiliki membuat anak tunanetra merasa terisolasi dari orang-orang normal, atau
dapat menimbulkan perasaan minder, bimbang, ragu, tidak percaya diri, jika berada
dalam situasi yang tidak dikenalnya.

Situasi dan aktivitas di sekolah bagi anak tunanetra yang hanya beberapa jam dalam
sehari, sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua diganti oleh
bapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Sedangkan
kontak sosial dan komunikasi di sekolah terjadi di dalam dan di luar kelas.
Interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung antara guru dengan siswa, dan
siswa dengan siswa. Supaya kontak dan komunikasi berjalan lancar, maka setiap warga
sekolah harus memahami dalam situasi mana interaksi itu berlaku. Pemahaman dari
seluruh warga sekolah dapat membantu anak tunanetra untuk bisa melakukan kontak
sosial seperti yang diharapkan.

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan
program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agar
mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral,
spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan,
pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam hal
interaksi sosial di sekolah. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang besar, agar
anak tunanetra memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan individu lain yang
berada di sekitar sekolah. Guru membimbing anak tunanetra secara bertahap,
disesuaikan dengan dasar pengalaman anak tunanetra ketika berada dalam lingkungan
rumahnya.

Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan
kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang
dewasa.

Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak
diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar,
bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif,
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam
berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak
tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada
diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga
dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan
lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.

sumber: http://www.plbjabar.com/?inc=artikel&id=44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar