Kamis, 14 Mei 2009

Pendidikan tinggi lebih susah mencari pekerjaan?

Berdasarkan laporan harian Kompas pada hari Sabtu, 9 Februari 2008 yang sempat saya baca, orang yang berpendidikan tinggi cenderung sulit mendapat pekerjaan. Banyak orang yang merupakan lulusan dari universitas lebih banyak yang menganggur dibanding orang yang berpendidikan tidak lebih tinggi.

Bagi sebagian orang tentunya hal ini cukup mengagetkan soalnya hal ini cukup bertentangan dengan apa yang kita kira terjadi selama ini. Sekarang ini banyak orang yang berbondong-bondong mengejar impian agar bisa masuk ke universitas terkenal untuk mendapat gelar. Gelar ini pada dasarnya akan digunakan agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sampai sekarang pun doktrin bahwa orang yang berpendidikan tinggi akan mendapat pekerjaan yang mapan tetap didengungkan di mana-mana.

Mari kita telaah realitas hidup yang didasarkan pada laporan di harian itu. Di tingkat universitas, sekolah menengah dan dasar, kebanyakan yang diajarkan adalah bersifat teori dan hafalan. Dari teori-teori dan hafalan tersebut, para siswa atau mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan dalam bentuk praktis sehingga teori-teori tersebut tidak sia-sia belaka.

Seringkali yang saya lihat sejauh ini, para mahasiswa atau siswa hanya menerima teori itu mentah-mentah tanpa pernah berusaha mempraktekannya. Sedangkan pihak sekolah dan universitas belum sepenuhnya memfasilitasi agar para mahasiswa atau siswanya bisa melakukan riset atau praktek. Jadi fenomena ini bagi saya sendiri adalah budaya yang sudah mengakar rumput. Para siswa atau mahasiswa tidak direpotkan dengan keharusan untuk praktek, sedangkan pihak penyelenggara pendidikan juga tidak direpotkan untuk mengeluarkan biaya dalam memfasilitasi riset. Kebiasaan ini berbeda dengan penyelenggara pendidikan di luar negeri yang cenderung mengutamakan riset dan memfasilitasi para mahasiswa atau siswanya dalam mengembangkan riset.

Tentu tidak semua penyelenggara pendidikan di Indonesia yang seburuk hal di atas, dan tidak semua mahasiswa dan siswa pula yang semalas itu dalam menerapkan apa yang dipelajari dalam masyarakat.

Faktanya semakin sering seseorang mempraktekkan apa yang dipelajari, atau bahkan yang tidak dipelajari dari lembaga pendidikan formal, maka semakin kuat pula kemampuan praktis yang dimiliki. Sejalan dengan semakin berkembangnya peran pada penilaian EQ (Emotional Quotient) dibanding penilaian IQ (Intellectual Quotient), maka bisa ditarik kesimpulan pula bahwa orang intelek belum tentu dapat lebih sukses dibanding orang yang tidak intelek tetapi memiliki keinginan lebih kuat untuk mengembangkan diri.

Dalam laporan Kompas juga dikatakan bahwa jumlah lowongan pekerjaan yang mensyaratkan intelektual tinggi juga tidak sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang mengutamakan kemampuan mengolah atau me-manage pekerjaan. Saya sempat mencoba melihat lowongan-lowongan pekerjaan yang ada di harian itu dan juga di internet. Memang jarang terdapat lowongan yang mensyaratkan Indeks Prestasi atau mensyaratkan jenjang pendidikan semisal S1, S2 atau bahkan S3. Justru lebih banyak lowongan yang mengutamakan pengalaman kerja (experience), kerja sama tim (teamwork), keinginan mengembangkan kemampuan atau belajar sendiri (self learning) dan juga hasil kerja nyata yang sudah pernah ada (portfolios).

Pengembangan karakter ternyata juga berperan penting dalam mendapat pekerjaan. Tentu tidak dapat dipungkuri bahwa orang-orang akan mencari suatu pekerjaan dengan gaji yang tinggi dibanding dengan pekerjaan yang bergaji rendah. Tapi tentu menjadi pilihan buruk bila kita tetap ngotot untuk mendapat pekerjaan yang bergaji tinggi padahal jumlah pekerjaan itu hanya sedikit. Menjadi seorang realis yang memilih gaji rendah lebih baik daripada menjadi seorang idealis yang memilih gaji tinggi tetapi menganggur selama menunggu terbukanya peluang itu.

Dan satu lagi yang penting, jumlah pengangguran dibanding lowongan pekerjaan yang ada saat ini akan menyulitkan kita mencari pekerjaan. Bila mungkin, tentu saja “menambah lowongan pekerjaan” dengan membuka lapangan pekerjaan ayng baru akan lebih baik daripada “mengurangi lowongan pekerjaan” dengan mengisi pekerjaan itu. Inilah yang disebut kemampuan kewirausahaan atau yang dikenal dengan kata entrepreneurship. Tentu kemampuan kewirausahaan ini harus dibarengi dengan kemampuan untuk melihat peluang yang ada (dan sedikit keberanian mengambil tindakan), karena bila salah mengambil langkah bisa-bisa malah mengalami kerugian.

Selain membaca mengenai laporan tersebut di Kompas, saya juga sempat membaca mengenai mahasiswa yang bekerja sambilan sembari kuliah. Yah tentu saja resiko dalam hal ini adalah harus bisa mengatur waktu antara kuliah dan kerja. Tidak jarang mahasiswa yang telah bekerja malah terlalu menikmati pekerjaan sampai-sampai tidak lagi mempedulikan atau malah menghentikan kegiatan kuliah. Kembali lagi kepada pribadi masing-masing orang tersebut. Dengan bekerja sembari kuliah atau sekolah tentu pengalaman kerja kita telah disiapkan sebelum akhirnya kita harus terjun ke dalam dunia pekerjaan yang sebenarnya.

Jadi, apakah orang yang berpendidikan tinggi lebih sulit mendapat pekerjaan? Maka saya akan menjawab bahwa hal itu tergantung dari individu masing-masing dalam menghadapi realitas yang ada di dunia ini.

sumber: http://etersoul.com/2008/02/11/pendidikan-tinggi-lebih-susah-mencari-pekerjaan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar