Jumat, 17 April 2009

Wajah Pendidikan Tinggi

Ini masalah pengakuan dunia internasional terhadap kualitas pendidikan tinggi
kita. Baru-baru ini, suatu penerbitan berskala internasional yang bermarkas di
Inggris, The Times, telah menobatkan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta
sebagai perguruan tinggi unggulan dunia.

Jelasnya; The Times baru saja mengumumkan hasil studinya bahwa UGM Jogjakarta
(Indonesia) dinobatkan menjadi salah satu di antara seratus perguruan tinggi
unggulan dunia untuk bidang ilmu budaya dan humaniora.

Atas prestasinya itu, UGM Jogjakarta boleh berdiri sejajar dengan berbagai
universitas terkemuka di luar negeri seperti RMIT University (Australia), Wina
University (Austria), Frankfurt University (Jerman), Hiroshima University
(Jepang), Amsterdam University (Belanda), National University of Singapore
(Singapura), University of Lomonozov Moscow (Rusia), New York University (USA),
dan masih banyak lagi perguruan tinggi kelas dunia yang lainnya.

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentu kita ikut bangga mengetahui
prestasi UGM Jogjakarta tersebut. Pada realitasnya, rasanya, memang belum
pernah ada perguruan tinggi kita, baik PTN maupun PTS, yang bisa mencapai
prestasi seperti itu. Prestasi UGM Jogjakarta tersebut tentunya dapat menjadi
pemanis wajah pendidikan tinggi kita yang selama ini memang masih buram, bahkan
sangat buram.


Skala Parsial

Apakah prestasi UGM Jogjakarta tersebut dapat mewakili keseluruhan lembaga
pendidikan tinggi di Indonesia yang jumlahnya sekarang lebih dari 2.000
perguruan tinggi? Tentu saja tidak! Prestasi yang dicapai UGM Jogjakarta
-dengan tetap mensyukurinya- bukanlah berskala institusional, melainkan
parsial; dalam hal ini, terbatas pada bidang ilmu budaya dan humaniora.

Yang dicapai UGM Jogjakarta tersebut bahkan bisa dinyatakan sebagai sebuah
antiklimaks perjalanan akademis lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
Baru-baru ini, Rektor UGM Jogjakarta Sofian Effendi sempat memberikan pidato
resmi yang diikuti ratusan, bahkan ribuan orang, yang isinya merupakan
pengakuan atas rendahnya kualitas perguruan tinggi kita pada umumnya.

Menurut Pak Sofian, lemahnya dana pemerintah bagi pendidikan tinggi nasional
mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan tinggi kita. Karena itu, sulit bagi
perguruan tinggi nasional untuk memenuhi standar mutu internasional. Kemampuan
keuangan nasional yang amat terbatas membawa dampak besar kepada rendahnya mutu
pendidikan tinggi kita.

Anggaran yang mampu disumbangkan pemerintah untuk pendidikan tinggi kepada 3,5
s/d 4 juta mahasiswa tahun anggaran 2005 ini hanya Rp 6,2 triliun. Padahal,
anggaran yang diperlukan untuk mencapai standar mutu nasional adalah 72,4
triliun.

Agar perguruan tinggi Indonesia masuk dalam barisan perguruan tinggi terbaik di
Asia-Pasifik, setidak-tidaknya, biaya pendidikan 77 juta per mahasiswa per
tahun atau lebih kurang empat kali standar nasional yang besarnya 18,1 juta per
mahasiswa per tahun.

Meskipun tidak dieksplitisasi oleh Pak Sofian, yang dimaksud kualitas
pendidikan tinggi yang rendah adalah dalam skala institusional. Apabila di
dalam skala institusional berkualitas rendah, bisa dikatakan bahwa dalam skala
parsial, misalnya di tingkat fakultas, jurusan, atau program studi pada umumnya
berskala rendah pula.

Lalu, mengapa UGM Jogjakarta dapat dinobatkan sebagai salah satu perguruan
tinggi unggulan dunia untuk bidang ilmu budaya dan humaniora? Itulah kehebatan
UGM! Dari ribuan, bahkan belasan ribu, program studi yang dikembangkan PTN dan
PTS di Indonesia, ternyata UGM Jogjakarta mampu "mengambil" di sektor ilmu
budaya dan humanioranya.

Dalam skala institusional, sekitar lima tahun lalu, sebuah penerbitan
internasional yang bermarkas di Hongkong, Asia Week, melakukan studi mutu
perguruan tinggi di Asia (termasuk Australia dan New Zealand). Di dalam studi
yang laporannya berjudul World Class University 2000 itu, secara tidak langsung
dilukiskan keterpurukan kualitas perguruan tinggi kita. Dalam laporan itu
diperlihatkan, ternyata tidak satu pun perguruan tinggi nasional berhasil
meraih peringkat yang tinggi baik dalam kategori perguruan tinggi multidisiplin
(multi disciplinary universities) maupun perguruan tinggi iptek (science and
technology universities).


Wajah Kita

Bahwa UGM Jogjakarta sekarang masuk di dalam barisan perguruan tinggi unggulan
dunia tentu tidak perlu dibantah, bahkan kita sebagai warga negara Indonesia
yang baik memang harus berbangga. Permasalahannya sekarang, apakah prestasi
yang ditunjukkan lembaga itu benar-benar akan memulai era prestasi perguruan
tinggi Indonesia, ataukah hanya merupakan geliat yang tidak tentu arah masa
depannya.

Kita berharap prestasi UGM Jogjakarta itu menandai bangkitnya prestasi
perguruan tinggi nasional kita umumnya. Namun, hal itu tidak ada jaminan sama
sekali. Apalagi prestasi yang diraih UGM Jogjakarta tidak representasi dari
semua fakultas, jurusan, dan program studi yang ada.

Prestasi yang diraih UGM hanya terbatas pada bidang ilmu budaya dan humaniora.
Bagaimanakah dengan bidang-bidang lain seperti biologi, farmakologi, ekonomi,
hukum, kedokteran umum, kedokteran gigi, perikanan, peternakan, pertanian,
kehutanan, ketahanan nasional, demografi, psikologi, geografi, dan masih banyak
bidang-bidang lainnya?

Kiranya prestasi yang dicapai UGM, tanpa harus menghilangkan rasa syukur, lebih
merupakan sebuah geliat yang tidak tentu arah masa depannya. Artinya, bisa saja
ke depan kita akan lebih baik, tetapi bisa juga ke depan kualitas perguruan
tinggi kita justru remang-remang tak tentu ujung pangkalnya.

Apakah memang demikian keadaannya? Rasanya ya, karena memang demikianlah wajah
pendidikan tinggi kita.

sumber: http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Wajah-Pendidikan-Tinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar