Selasa, 14 April 2009

mau ke-mana pendidikan dasar kita

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah
memperoleh akses pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu
mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita
harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang
tersedia untuk dikaji.

Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata
Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan,
terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi
dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama
Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah
adalah Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan
Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III SD). Apa
sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional
pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun
seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih
baik. Mari kita memeriksa dua indikator penting sebagai berikut:

Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang
berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan
yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang
digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus
Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian.
Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat
sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup memuaskan. Angka
Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan
APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di
sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7
persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat
waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan
ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil
menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan
juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang
akhirnya melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi
Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di
tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18;
APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen
untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup
rendah. Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena
hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan sekolah tepat waktu.

Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita
masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari
kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh
adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari
60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat
merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai
kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen SMP/MTs
yang masuk kategori “sedang” ke atas. Di antara mereka hanya 0,03
persen yang tergolong “baik sekali” dan 2,14 persen tergolong “baik”.

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah
satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh adalah standar
mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan
menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama
antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada
sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk
sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan. Ketersediaan
Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari
sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan
fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur
adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang
dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI
berkategori “baik” dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam
kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas
ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di
SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9
persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi standar
kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif
tidak tersedia.

Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas
yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku adalah 75 persen
untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses
terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang
tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang
berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan
buku yang paling rendah adalah buku IPA).

Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP
sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai
99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika,
dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran
juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai
contoh, ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia
tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi SLTP yang
menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah.
Data-data itu tersedia di lingkungan departemen. Artinya, semua
birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada
aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian
serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi
pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih
banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan, yaitu buku
pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi
dan makanan (jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih
besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan.
Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku
terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan
makanan anak sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di
Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain, khususnya
Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat
berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-
sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan
dalam skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan
studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena
sensitif.

Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai,
tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya
jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri
melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua
pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor
pendidikan.

Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen
guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi
dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak
menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan
finansial dan penghargaan profesional.

Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh
diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini
sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana
seperti dalam grafik berikut. (grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai
tahun 1999- 2001 adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari
dua dasawarsa.

Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu
secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik kurikulum, “bermain-
main” dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan
sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan
berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua
yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan
lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih
mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita
bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar
dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan
kita jumpai. Semoga tidak demikian!

sumber: http://prabu.telkom.us/2007/06/18/mau-ke-mana-pendidikan-dasar-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar