Kamis, 30 April 2009

Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.

Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu.

Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai.

Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah.

Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan.

Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen.

Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.

Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi.

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi.

Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua.

Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan.

Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan.

Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat.

Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan.

Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education.

Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis.

Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain
adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan.

Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan.

Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan.

Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen.

Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar.

Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.

Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya.

Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering.

Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik.

Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu.

Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.

Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran.

Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan.

Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik.

Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional.

Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan.

Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan olehketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu.

Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku.

Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.

Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas.

Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.

Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas. (18)

Prof.Dr.H.Mungin Eddy Wibowo,M.Pd, Pembantu Rektor I Unnes, Ketua Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia

Sumber : http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2003-February/000585.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar