Jumat, 17 April 2009

Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang
ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak
pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling
strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi,
dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.

Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen
perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang
bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu
faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang
bemutu.

Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan
profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan
untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan
kesejahteraan yang memadai.

Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk
mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh
persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya
dosen. Ini tidak mudah.

Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan
otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem
organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan
akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya
akan kalah dalam berbagai persaingan.

Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir
kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja
kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya,
yakni dosen.

Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu
kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja
sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau
lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.

Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua
syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai
peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk
meningkatkan efisiensi produksi.

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran
produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan
yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi.

Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat
mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang
mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi
diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC
(mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu
menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh
sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan
kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya
dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan,
tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi,
interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan
sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan
komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat
bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika
kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua.

Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang
lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar
bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan
pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat,
menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif
internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan.

Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran
penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan
implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang
menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan.

Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat
menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi
masyarakat.

Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan
menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat
mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang
pendidikan.

Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung
politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi
pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education.

Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa
pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan,
pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu
maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan
masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis.

Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah
akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang
terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali
berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik
pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain
adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan.

Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus
berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada
tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa
kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir
ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan.

Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan
melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang
secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan.

Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas
dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani
mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya
sebagai seorang dosen.

Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya
sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar
mengajar.

Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti,
akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.

Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah
memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak
kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia
banyak referensi dalam pikirannya.

Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai
produk, sehingga cara mengajarnya akan kering.

Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari
empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian
hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil
penelitian dan pengkajian dalam praktik.

Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami,
memecahkan, dan menemukan sesuatu.

Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan
keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka
menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.

Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur:
(a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan
proses pembelajaran.

Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan,
jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak
adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program;
kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan.

Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang
bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil
didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ;
akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama,
dengan dikenai prestasi mutu hasil didik.

Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai
evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan
terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas
kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam
jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun
internasional.

Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi
profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat
ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh
kreativitas dan kecerdikan.

Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak
dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan oleh
ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu.

Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang
organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan
produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja
yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku.

Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat
dikelola berdasarkan asas otonomi.

Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya
berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan
pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan,
karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok
masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan
tinggi yang dikenal sebagai universitas.

Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu
terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi
rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan
dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.

Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan
perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau
akuntabilitas.

sumber: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2003-February/000585.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar