Kamis, 05 Maret 2009

Pesantren Awal Bangkitnya Moral Pendidikan

PESANTREN merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain belum berjalan secara fungsional, pesantren menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, mulai dari yang belajar agama, bela diri, mengobati orang sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh, sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah. Semua itu dilakukan di sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai.

Sebagai lembaga sosial, pada umumnya pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar.

Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santrinya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Kanwil Depag Jawa Barat, didapatkan hasil bahwa sampai dengan tahun 2004 terdapat 4.548 buah pesantren yang tersebar di 25 kabupaten/ kota di Jawa Barat. Dari total jumlah pondok pesantren yang berada di Jawa Barat tersebut, sebanyak 7,34% (334 pondok pesantren) berada di Kabupaten Sukabumi dan 44 pondok pesantren atau 0,97% lainnya berada di Kota Sukabumi.

Banyaknya lembaga keagamaan (pondok pesantren) yang berada di Jawa Barat khususnya di Kabupaten dan Kota Sukabumi merupakan potensi yang sangat besar dalam meningkatkan pengembangan masyarakat. Selain dalam pembangunan sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan, pesantren juga dapat memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat, pelayanan kesehatan, pengembangan hukum, dan demokrasi.

Seiring kebijakan otonomi daerah, upaya penguatan dan pengembangan pesantren di daerah menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian bersama. Pemerintah daerah dan legislatif, kini memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih besar sehingga kebijakan dapat langsung menyentuh dunia pesantren. Dengan demikian, pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) senyatanya dapat memberikan dukungan dalam pengembangan dunia pesantren.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangannya harus terus didorong. Pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya. Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah memengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Terlepas siapa yang memulai, hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.

Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selain itu, kebutuhan penataan dan pengadaan infrastruktur pondok pesantren telah berimplikasi terhadap munculnya anggapan misalnya dalam bidang kesehatan bahwa pesantren adalah komunitas yang tidak sehat. Sekalipun perilaku hidup sehat mulai disadari oleh sebagian besar pondok pesantren. Namun, hal itu masih perlu lebih banyak dorongan, khususnya pondok-pondok pesantren kecil yang memiliki pendanaan minim. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.

Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, senyatanya menjadi pertimbangan pesantren.

Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Hal lain juga terjadi karena kurang meratanya akses yang dimiliki antara pesantren yang satu dan yang lainnya. Ketimpangan antar pesantren terutama pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Pesantren kecil yang hanya berbasiskan masyarakat di sekitarnya kian terlihat kurang berkembang, sedangkan pesantren besar sedikit demi sedikit lebih berorientasi pada pengembangan santri yang secara kuantitas bukan berasal dari daerah setempat.

Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Alumni pesantren sebagai output sulit diketahui secara terstruktur dalam dokumen yang dimiliki pesantren. Padahal alumni merupakan aset besar untuk mendorong pengembangan pondok pesantren di masa yang akan datang.

Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.

Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentresi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tiadak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. Keahlian tersebut tentunya yang berkaitan dengan menciptakan kemandirian santri dan masyarakat dalam segala bidang. Dengan demikian, ketika santri selesai melakukan pendidikan di sebuah pesantren, selain ia memiliki wawasan keagamaan yang tangguh, ia juga memiliki kemampuan untuk melajukan sesuatu sesuai dengan bidangnya yang berguna baik bagi dirinya maupun masyarakat.

Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunai pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan semua pihak termasuk pemerintah.

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan daerah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa, sehingga pembangunan tidak tampak hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.


sumber:
http://blog.appidi.or.id/?p=302

Tidak ada komentar:

Posting Komentar