Kamis, 05 Maret 2009

Kelompok Belajar Anak Rakyat Miskin Kota

Anak-anak rakyat miskin kota yang hidup di kampung-kampung miskin di kota-kota besar Indonesia, adalah anak-anak yang sejak dini hidup dalam budaya informal. Dalam bermain misalnya, mereka menggunakan barang apa saja yang bisa mereka gunakan untuk bermain dan bereksplorasi. Penggunaan barang apa saja yang ada di sekitar mereka, tidak terlepas dari kondisi mereka yang memang tidak sanggup membeli barang permainan, tapi justru dari situ menciptakan kreatifitas. Kultur seperti ini merupakan akar mereka memasuki budaya informal yang kelak akan menjadi kekuatan mereka. Namun di tengah kepungan praktek globalisasi dan trend kehidupan modern ini, formalitas menjadi mekanisme yang dominan dan dipaksakan. Formalitas mencakup standarisasi-standarisasi yang berkaitan dengan pendidikan, modal, teknologi, jaringan dan mobilitas di mana rakyat miskin kota tidak memiliki akses terhadapnya. Sedang yang informal menjadi terpinggirkan dan tergusur. Mereka termarjinalisasikan, diasingkan, bukan karena kesalahan mereka. Melainkan karena ketidakadilan dalam memahami kehidupan bersama. Dalam konteks kehidupan bersama, formalitas dan informalitas seharusnya diterima sebagai bagian yang membentuk keseimbangan dan keharmonisan.
Formalitas dan standarisasi dalam bidang pendidikan juga memberikan dampak tersendiri terhadap proses pertumbuhan anak miskin kota seperti:

  • Mahalnya biaya sekolah (sistem pendidikan yang tidak memihak kepada orang miskin).
  • Matinya kreatifitas anak miskin kota akibat sistem pendidikan formal yang tidak memberikan kebebasan pada anak untuk berkreatifitas.
  • Pendidikan formal tidak menumbuhkan dan memperkuat kesadaran akan identitas diri (kesadaran akan identitasnya sebagai anak RMK)
  • Terciptanya kultur di komunitas di mana lingkungan sekitar rumah lebih mengarahkan anak untuk menjadi konsumen dari permainan-permainan yang mematikan kreatifitas anak

    Prinsip

    1. Membebaskan anak dari sistem pendidikan yang menindas di mana anak hanya dianggap sebagai objek, sehingga mematikan kreativitas kecerdasan, dan solidaritas anak (emosional, kognitif, fisik, sosial, kreatif dan artistik)
    2. Bersifat Informal : tidak memakai seragam dan tempat belajar bisa di mana saja.
    3. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Sebagai bentuk pembebasan dari paradigma guru mengajar dan murid diajar.Bahwa semua orang dapat menjadi guru bagi orang lain termasuk anak-anak menjadi guru bagi pendampinganya. Dengan alam raya sebagai sekolahku, alam sekitar dimanfaatkan sebagai media untuk bermain, belajar, bereksplorasi dan berekspresi.
    4. KBA dilakukan secara partisipatif : dalam pembiayaan, penentuan materi dan sarana dalam bermain, belajar, bereksplorasi serta berekspresi.
    5. Mampu membentuk kesadaran kritis, solidaritas dan kerelawanan sosial dengan perspektif gender dan mengutamakan perdamaian serta menghargai keberagaman.

Proses
Anak-anak rakyat miskin kota berpotensi untuk tidak perduli terhadap kehidupan di kampungnya antara lain karena stigma kemiskinan yang melekat sebagai lingkungan bermukim yang tidak sehat dan rusak. Karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan berbagai materi yang terdapat di kampung mereka sendiri, dan bersama anak-anak mengubah materi tersebut menjadi media untuk belajar, bermain, bereksplorasi dan berekspresi. Konsentrasi terhadap pembentukan keahlian bergantung pada minat masing-masing anak.

Hubungan terhadap dunia luar yang berkaitan dengan program pendampingan ini, terukur sedemikian rupa sehingga tidak beresiko menimbulkan kecenderungan bagi anak-anak untuk lebih menyukai dunia luar dibandingkan kampung mereka sendiri. Peningkatan kreativitas, kesadaran kritis, dan solidaritas/kesetiakawanan anak menjadi fokus dari pendekatan melalui bermain, belajar, bereksplorasi dan berekspresi. Agenda kegiatan/belajar juga disusun bersama anak-anak.
Dalam proses belajar, bermain dan berekspresi, pendamping anak menggunakan berbagai metode seperti menggambar dan bercerita, menonton film anak dan diskusi, mendongeng dan diskusi, membaca dan bercerita, jalan-jalan keliling kampung (mengenal kampung), makan bersama, dan kolase.
Semua metode tersebut digunakan untuk meningkatkan kreativitas dan kesadaran kritis anak, minimal terhadap lingkungan sekitarnya.

Dengan kreativitas dan kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitar (kampungnya), anak-anak dapat melihat, merasakan dan memahami fenomena permasalahan yang ada di kampung tempat tinggal mereka. Pada akhirnya nanti, anak-anak tersebut diharapkan dapat menjadi pembaharu atau membawa perubahan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Manfaat
Selama pelaksanaanya di komunitas, KBA telah memberikan banyak manfaat khususnya terhadap proses perkembangan anak. Anak-anak miskin kota yang menjadi peserta KBA mengalami peningkatan kapasitas seperti peningkatan rasa percaya diri, lebih berani dan kreatif. Dalam upaya melawan gempuran industri mainan terhadap alam bermain mereka, anak miskin kota dapat, secara kreatif, memanfaatkan segala media ataupun benda-benda di sekitarnya untuk membuat mainan bagi mereka.
Anak miskin kota juga menjadi lebih kritis. Mereka mulai mampu menghubungkan atau mengkaitkan suatu masalah satu dengan yang terjadi di kampungnya seperti banjir, luapan sampah, dll.

Langkah-langkah Pembentukan
Pembentukan KBA selalu berdasarkan dengan kebutuhan kampung-kampung akan adanya sarana kelompok belajar bagi anak miskin kota. Untuk itu, pemetaan akan masalah dan kebutuhan menjadi langkah awal yang harus ditempuh. Kebutuhan tersebut hendaknya dipecahkan secara bersama-sama oleh warga, sedangkan pendamping yang ada, jika dibutuhkan, hendaknya melakukan fasilitasi ketika warga melakukan pertemuan untuk memecahkan masalah atau kebutuhan yang berkait dengan pendidikan anak-anak mereka.
Setelah ada kesepakatan tentang pembentukan kelompok belajar anak, maka dibicarakan bagaimana seluruh kebutuhan bisa dipenuhi, mulai dari pendamping KBA, ruang atau tempat belajar, alat-alat belajar, dsb. Seluruh kebutuhan tersebut baiknya dipenuhi oleh warga sendiri. Warga kampung yang memiliki kemauan dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pendamping bagi KBA, dimulailah proses pembentukan KBA dan ada proses evaluasi selama 3 bulan di awal. Dari evaluasi tersebut, dapat diukur apakah pendamping tersebut memang memiliki kemampuan dan merupakan pendamping yang tepat bagi

sumber:http://uplink.or.id/v2/artikel/kelompok-belajar-anak-rakyat-miskin-kota.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar