Kamis, 26 Februari 2009

Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika di SD

Kita tentunya harus akui bersama bahwa kurikulum sekolah kita terutama matematika di SD tidaklah ideal. Permasalahan utamanya bukanlah miskinnya materi pada kurikulum tersebut, tetapi justru sebaliknya. Kurikulum itu sangat gemuk.

Banyak pakar mengusulkan untuk menghapuskan materi pada kurikulum tersebut. Ini tentunya tidak secara otomatis akan menyelesaikan masalah. Mungkin malahan melahirkan permasalahan baru yang lebih runyam.

Pada tulisan ini, kami mengajukan suatu langkah strategis selain dengan pemangkasan kurikulum. Langkah ini dapat dimanfaatkan oleh para anak didik, guru, dan orang tua agar anak-anak kita mampu bernalar secara aktif, kreatif, dan kritis melalui proses pembelajaran matematika yang bermutu.


1 Permasalahan dalam Pembelajaran Matematika
============================================

Pada dasarnya kita ketahui bersama bahwa matematika senantiasa ada pada semua kurikulum sekolah. Entah itu tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat Perguruan Tinggi, matematika senantiasa termasuk salah satu materi yang tercakup dalam kurikulum. Perlukah anak-anak kita di SD belajar matematika? Untuk apakah kita belajar matematika?

Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena -ini untuk menjawab pertanyaan kedua- dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Pendapat ini didukung pendapat dari Dudley di [1]. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuhkembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat.

Pendapat bahwa seseorang yang belajar matematika akan menjadi pemelajar yang lebih baik bukanlah mitos. Pendapat ini didukung dengan fakta yang dikemukakan di [3] bahwa sebanyak 83 persen siswa yang belajar Geometri dan Aljabar di AS melanjutkan ke college. Ini jauh lebih tinggi
dibanding siswa yang tidak belajar hal itu, yaitu hanya 36 persen yang melanjutkan ke college. Perbedaan di atas lebih mencengangkan lagi pada siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Ternyata, perbandingannya 71 persen lawan 27 persen.

Sekarang, kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi. Guru terbebani dengan target untuk menyelesaikan beban materi yang sangat besar. Jika ada dua guru bertemu, yang akan menjadi -bahan pembicaraan adalah sampai di mana pembahasan materi di kelasnya.
Bukan mendiskusikan bagaimana menyampaikan suatu materi dengan menarik. Yang terakhir ini sudah tidak sempat lagi diperbincangkan. Dan, tidak relevan dengan keadaan seperti sekarang.

Proses pembelajaran matematika yang disediakan di sekolah akibatnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin jadi lebih tepatnya, yang ada hanyalah proses pengajaran matematika, bukan pembelajaran. Dalam pelajaran matematika yang seharusnya kita belajar bernalar, telah diubah menjadi pelajaran menghafal. Sangat aneh jika pelajaran matematika diberikan dengan guru yang ceramah di depan kelas atau "berbicara" dengan papan tulisnya, sedangkan muridnya hanya mencatat. Lalu, murid itu akan menghafal semua yang dicatatnya. Dan, pada saat ulangan nanti, murid itu cukup "memuntahkan" kembali info yang dicatatnya atau ditelannya. Ini semua terjadi hampir di setiap kelas. Ini jelas mengasingkan aktivitas bermatematika yang benar dengan pelajaran matematika.

Permasalahan lainnya yang perlu disinggung di sini adalah persepsi yang berkembang pada diri anak didik bahwa matematika adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya. Ini
tentunya sangat menyedihkan. Matematika memang suatu ilmu yang abstrak. Mungkin pula sulit dicerna. Ini wajar. Namun, kita sebagai guru haruslah senantiasa berupaya menunjukkan relevansi matematika dalam kehidupan nyata. Ini suatu keharusan.

Dengan mekarnya persepsi tentang tidak relevannya atau tak bermanfaatnya matematika, motivasi belajar matematika anak didik menjadi turun. Atau malahan menjadi hilang. Akibatnya,
banyak dari anak-anak kita itu menghafal matematika. Ini sangat mengasingkan kebermatematikaan yang benar dari pelajaran matematika di SD.

Tidak cukup kita sebagai guru mengatakan bahwa materi dalam matematika itu akan dimanfaatkan kelak. Atau, lebih parah lagi, kita janganlah menyatakan bahwa materi yang kita pelajari ini memang saat sekarang belum ada gunanya, namun akan dimanfaatkan di masa mendatang. Jauh lebih baik jika kita berupaya menunjukkan keberdayaan matematika dengan mengaitkannya pada permasalahan sederhana sehari-hari kita. Memang ini artinya mensyaratkan guru harus belajar. Namun, bukankah memang seorang guru haruslah seorang pemelajar sepanjang hayat? Malah, kita sebagai orang tua pun harus senantiasa belajar. Karena, memang hanya dengan belajar lah kita dapat survive. Selain itu, seperti kata Sekretaris Pendidikan Amerika Serikat, Riley, di [3], bahwa

--almost every job today increasingly demands a combination of
theoretical knowledge and skills that require learning throughout
a lifetime.--


2 Strategi
==========

Dari paragraf-paragraf di atas, kita cermati bahwa:

1. belajar matematika untuk belajar bernalar;
2. belajar matematika untuk menghayati keberdayaan matematika;
3. kurikulum yang sekarang tidak menunjang dua butir di atas;
4. persepsi yang salah tentang matematika.

Sekarang, tentu saja kita dapat mengikis kurikulum yang ada sehingga tinggal, mungkin, sepertiganya. Ini mudah. Namun, apakah kita dapat membayangkan apa yang akan diajarkan oleh
para guru kita? Apakah guru kita sudah siap mengisi waktu yang lowong tersebut? Kalau para guru kita belum siap untuk berkreasi untuk merekacipta pelajaran untuk mengisi jam-jam yang lowong tersebut, anak-anak kita juga tidak akan belajar dengan efektif. Waktunya banyak yang terbuang dengan percuma. Ini tentunya menjadi masalah yang runyam pula.

Kami sendiri sangat setuju dengan perampingan kurikulum, namun demikian perampingan ini perlu penelaahan yang seksama. Tidak dapat dikerjakan secara terburu-buru. Perlu masukan dari banyak pihak.

Dalam tulisan ini, kita coba melihatnya dari sudut lain. Kita coba berupaya meningkatkan proses pembelajaran matematika dengan kurikulum yang ada. Artinya, kita perlu mencari peluang agar anak-anak kita tetap belajar matematika yang mampu meningkatkan kemampuan bernalarnya, sekaligus meningkatkan apresiasinya terhadap keberdayaan matematika.

Secara umum, strategi yang harus diambil guru dan juga orang tua adalah mengikuti materi yang dicanangkan pada kurikulum. Itu kita ikuti. Hanya, metode pembelajaran yang diterapkan harus diubah. Atau malah harus dicari alternatifnya. Ini penting, karena kita tidak ingin menimbulkan perbenturan yang rumit jika harus mengajarkan materi yang berlainan dengan kurikulum yang telah ditentukan.

Dari setiap materi ajar yang diberikan di kelas, guru harus senantiasa merencanakan dengan rinci tentang pendekatan yang akan diterapkan untuk memperkenalkan sampai menyampaikan materi ,
tersebut. Juga harus dipersiapkan ilustrasi-ilustrasi yang menunjang serta meningkatkan motivasi anak didik dalam pembelajaran materi termaksud.

Sedangkan kita orang tua di rumah harus meluangkan waktu yang sangat cukup untuk anak-anak kita. Kita tidak cukup melepaskan semua aktivitas belajarnya pada anak-anak kita atau pembantu rumah tangga kita. Malahan, kita harus menjadi mitra dari guru di sekolah. Sekarang, bagaimana kita dapat bermitra dengan baik?

Peluang diskusi tentang materi ajar di ruang kelas saat ini sangat kurang. Ini seharusnya dapat dipenuhi di rumah. Penyampaian informasi dari materi ajar itu mungkin secara umum diberikan di
kelas, namun demikian, pemahaman sampai analisis yang mendalam perlu dilakukan di rumah. Dan, di sini orang tua mempunyai peran yang besar. Berikut ini diberikan beberapa ilustrasi materi ajar yang pasti sudah kita kenal semua dari GBPP [2]. Di sini, kita akan melihat beberapa alternatif penyampaian materi ajar yang mungkin dicoba di kelas, serta bahan diskusi yang perlu
dicoba kita semua di rumah.


2.1 Ilustrasi I
================

Satu materi ajar yang paling menonjol dalam pengajaran matematika di SD adalah berhitung. Dalam program pengajaran kelas III caturwulan 3, misalnya, para siswa belajar perkalian

4 x 23 = 4 * (20 + 3) (1)
= (4x20) + (4x3) (2)
= 80 + 12 (3)
= 92 (4)

Materi ajar ini baik, karena siswa diajak untuk melihat penyederhanaan permasalahan. Namun, jika kita hanya mengajarnya sebatas prosedur ini, maka anak didik kita tidak bernalar mengapa hal
ini boleh dilakukan. Kecuali itu, prosedur itu didapat anak didik karena diberitahu oleh gurunya. Sebaiknya, anak didik itu mencari sendiri pola yang memberikan 'conjecture' atau dugaan bahwa memang diperbolehkan mengelompokkan perhitungan tersebut. Jadi, sifat atau ide matematika itu berasal dari siswa itu sendiri.

Selain itu, para anak didik perlu diajak berdiskusi tentang matematika. Mereka perlu diajak berbahasa matematika untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu, materi ajar di atas dapat pula disampaikan dengan suatu modifikasi. Misalnya, disampaikan dengan pertanyaan berikut

jika 4 x 22 = 88, maka 4 x 23 = (5)

Lalu kita dapat minta setiap anak menceritakan argumennya. Sedangkan kita orang tua yang menyediakan proses pembelajaran di rumah juga dapat mengajukan bahan-bahan diskusi tersebut. Ini akan meningkatkan daya nalar anak-anak kita.


2.2 Ilustrasi II
================

Siswa di kelas III pada caturwulan 3 belajar penjumlahan bilangan dari 0 sampai dengan 100. Mereka sering diminta menemukan nilai uang logam kedua, jika uang logam pertama adalah Rp. 50,00 dan jumlah uang keseluruhan adalah Rp. 75,00. Atau, dalam pernyataan matematika, siswa diminta menemukan " titik-titik" , sehingga 50 + ...= 75. (6)

Jenis pertanyaan ini sangat standard. Jawabnya hanyalah satu. Para siswa hanya dapat menjawab benar atau salah. Mereka tidak dapat mendiskusikan jawabnya secara kritis. Pernalaran
kreatif juga tidak mekar. Sangat lain jika kita kedepankan permasalahannya dengan cara lain. Misalnya, asumsikan kita mempunyai dua buah uang logam di dalam kantung. Jika uang logam itu merupakan pecahan Rp.25,00, atau Rp. 50,00, berapakah uang kita? Dengan cara inipara siswa belajar berpikir alternatif. Mereka sudah terbiasa dengan problem solving. Selanjutnya, kita dapat mengajukan pertanyaan seperti: mungkinkah jumlah uang kita Rp. 25,00?


2.3 Ilustrasi III
=================

Siswa SD kita sangat kurang dikenalkan dengan estimasi. Padahal, kita tahu bahwa estimasi merupakan satu hal yang sangat penting dalam matematika. Untuk ini, kita dapat mendiskusikan
misalnya: jika kita mempunyai 27 batang lidi dan setiap 5 batang lidi kita ikat, maka ada berapa ikat batang lidi? Anak SD kelas dua sebenarnya sudah harus bekerja dengan jenis estimasi seperti
ini. Mereka harus sudah terbiasa dengan permasalahan seperti ini.

Yang perlu pula ditumbuhkembangkan di sini adalah " sense" dari bilangan pecahan. Misalnya, kita memberikan bujur sangkar terbuat dari kertas putih pada tiap siswa yang sebagian telah
sengaja kita "kotori" dengan tinta. Selanjutnya, setiap siswa diminta untuk mengestimasi seberapa besar dari bujur sangkarnya yang terkena tinta tersebut. Kegiatan ini juga akan meningkatkan kemampuan siswa dalam pengukuran.

Di sini, para siswa sebaiknya diajak berbahasa dengan menggunakan kata-kata matematika seperti " kira-kira" , " lebih besar" , dan "lebih kecil".


3. Penutup
==========

Secara ringkas, para guru dan orang tua perlu berupaya agar anak-anak kita bernalar dalam pelajaran matematika. Mereka dapat meningkatkan pernalaran kritis dan kreatif mereka melalui
proses belajar matematika. Untuk itu, guru dan orang tua perlu merancang bahan belajar dengan baik, sehingga anak-anak kita, di samping menyerap materi ajar, mampu bernalar.

Dalam prosesnya, anak didik kita akan masuk dalam wacana dengan bahasa matematika yang tegas. Ini merupakan suatu kesempatan yang baik bagi anak-anak kita untuk belajar berbahasa
dengan pernalaran yang benar dengan pengungkapan yang tepat. Jika para guru di kelas dan orang tua di rumah mampu menyediakan proses pembelajaran matematika yang bermutu seperti di
atas, maka anak-anak kita akan mampu bernalar secara kritis, aktif, dam kreatif. Tentunya ini mengharuskan kita semua untuk belajar secara berkelanjutan. Artinya, kita semua harus berupaya
menumbuhmekarkan masyarakat kita untuk menjadi masyarakat pemelajar sepanjang hayat.



sumber: http://www.sigmetris.com/artikel_20.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar