Kamis, 30 April 2009

Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.

Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu.

Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai.

Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah.

Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan.

Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen.

Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.

Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi.

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi.

Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua.

Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan.

Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan.

Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat.

Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan.

Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education.

Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis.

Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain
adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan.

Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan.

Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan.

Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen.

Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar.

Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.

Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya.

Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering.

Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik.

Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu.

Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.

Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran.

Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan.

Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik.

Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional.

Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan.

Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan olehketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu.

Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku.

Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.

Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas.

Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.

Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas. (18)

Prof.Dr.H.Mungin Eddy Wibowo,M.Pd, Pembantu Rektor I Unnes, Ketua Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia

Sumber : http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2003-February/000585.html

Tahun Ini Ada Dua Sekolah Inklusi

Kabupaten Gresik tahun ini menambah dua sekolah inklusi yang khusus menerima siswa berkebutuhan khusus atau difabel untuk siswa SMP, kata Kepala Dinas Pendidikan, Chusaini Mustaz, Rabu (29/4).

Menurut rencana, sekolah tersebut akan dipadukan dengan SMPN 4 Gresik dan SMPN 3 Sidayu. Keputusan itu diambil menyusul tujuh siswa SD berkebutuhan khusus akan mengikuti ujian nasional. Mereka akan masuk SMP. Maka dari itu, perlu kami akomodasi keberadaanya. Di Gresik sendiri, ada sejumlah siswa berkebutuhan khusus, enam siswa di SDN 7 Sidokumpul, sembilan di SDN Tlogopatut 1, dan tiga siswa di SDN Mriyunan Sidayu, katanya.

Para siswa difabel itu nanti akan mendapat kelas khusus dan guru pendamping. Khusus untuk guru pendamping, dispendik telah menganggarkan dana sekitar Rp 46 juta, untuk 10 guru pendamping setiap tahunnya.

Kendati para siswa itu ditempatkan dalam kelas khusus, mereka tetap mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kelas reguler. Secara bertahap siswa itu akan diperkenalkan untuk mengikuti pelajaran bersama teman lainnya. Menjadi tidak baik jika mereka terus terpisah dengan teman sebayanya. Mereka butuh sosialisasi dan komunikasi, katanya.

Chusaini menambahkan, keberadaan sekolah tersebut diharapkan bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, meski berkebutuhan khusus, siswa masih memiliki potensi yang perlu dikembangkan.

Menanggapi keberadaan siswa SMPN 4 Gresik, Muhammad Amanatullah, kata Chusaini, pihaknya telah menginstruksikan kepada masing-masing sekolah untuk tidak mendiskriminasikan keberadaan siswa difabel.



Sumber: Kompas.Com
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/29/
22463998/Tahun.Ini.Ada.Dua.Sekolah.Inklusi.

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.


sumber:http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Rabu, 29 April 2009

Dilema Pendidikan Inklusi

Seorang sahabat yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMU Negeri di Surabaya bercerita pada saya bahwa dia merasa sangat kesulitan untuk menerangkan mata pelajaran kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra di kelasnya. Di satu sisi dia merasa sangat kesulitan dan sepertinya hampir putus asa, namun di sisi lain dia merasa bahwa tanggungjawabnya adalah mencerdaskan seluruh siswanya tanpa terkecuali termasuk siswa difabel. Sahabat saya tersebut kemudian terus berusaha untuk menemukan cara yang tepat guna mengajarkan ilmu kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra. Sementara siswa tuna netra tersebut semakin merasa tersisih dari proses belajar dalam kelas tersebut karena kebutuhannya informasi yang cukup tidak terakomodasi dengan metode belajar yang dilakukan.

Sebenarnya fenomena di atas tidak perlu terjadi jika sistem pendidikan inklusi dipersiapkan dengan lebih matang. Tahapan - tahapan tersebut antara lain; sosialisasi, persiapan sumber daya (preparing resources), dan uji coba (try out) metode pembelajaran. Sosialisasi pendidikan inklusi dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang maksud dan tujuan pendidikan inklusi kepada tenaga pengajar, siswa, dan orang tua. Fungsi sosialisasi sangat penting untuk membangun pra kondisi lingkungan sekolah dan juga kesiapan mental baik bagi siswa maupun para guru.Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan sumber daya yang menyangkut kesiapan peralatan peraga untuk simulasi dan kesiapan ketrampilan tenaga pelaksana pendidikan. Kelengkapan peraga untuk pendidikan inklusi memang lebih kompleks dibanding dengan alat peraga ajar yang umum digunakan. Sehingga dituntut kreatifitas dari guru untuk melakukan simulasi proses belajar mengajar. Sementara persiapan tenaga pelaksana pendidikan adalah dengan melakukan pelatihan (training) tentang beberapa metode pelaksanaan pendidikan inklusi kepada para guru.

Jika kedua langkah tersebut telah dilaksanakan maka langkah terakhir adalah melakukan uji coba metode pendidikan inklusi pada sekolah yang ditunjuk. Uji coba dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas metode yang digunakan sekaligus untuk melakukan evaluasi sehingga dapat dicari solusi tepat untuk melakukan perbaikan jika ditemukan kekurangan. Ketika ketiga langkah tersebut sudah terlaksana dengan baik, maka pendidikan inklusi mulai dapat diaplikasikan pada sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project.


Subtansi Pendidikan Inklusi

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Selama ini anak - anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak - anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak - anak difabel dengan anak - anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak - haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.


Dilema

Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai - nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang - undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel.

Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar - benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak - anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.

Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih - alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan - tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing - masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.

sumber: http://www.pusdakota.org/artikel_dilema.html

SUDAH SAATNYA DIBUKA SEKOLAH KHUSUS ATLET

PENERIMAAN siswa baru (PSB) di tingkat pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), khususnya sekolah-sekolah negeri, masih menyisakan setumpuk persoalan. Tidak hanya bagi masyarakat luas, terutama para orang tua siswa, pemerhati pendidikan, kalangan lembaga swadaya masyarakat dan anggota legistatif, tetapi juga bagi insan pendidikan itu sendiri seperti para kepala sekolah dan guru-guru.

Idealnya, PSB mengacu pada kemampuan akademik siswa, yakni berdasarkan akumulasi nilai ujian akhir sekolah jenjang sebelumnya. Untuk tingkat SLTP diambil dari nilai ujian akhir di SD, lantas untuk SLTA dari SLTP. Akan tetapi, mengingat banyaknya siswa pendaftar tidak sebanding dengan daya tampung di suatu sekolah maka dibuatlah passing grade.

Sebagai contoh, sekolah x berdaya tampung 400 siswa baru, siswa pendaftar 800 orang, yang akan diterima adalah pendaftar dengan nilai tertinggi (dijadikan urutan pertama) sampai dengan terrendah (urutan ke-400). Urutan ke-400 umpamanya, jumlah nilai ujian akhirnya 29,19, maka nilai inilah yang dijadikan passing grade sekolah x; sehingga urutan ke-401 s.d. 800 tidak akan diterima lantaran nilainya niscaya di bawah passing grade.

Nilai passing grade tersebut secara on-line dapat diakses khalayak ramai melalui internet. Dengan demikian orang tua siswa selekasnya dapat mengetahui posisi anaknya, apakah diterima atau tidak di sekolah pilihannya. Bagi yang diterima, segera menyiapkan kelengkapan administrasi serta dana/biaya untuk mendaftarkan diri ke sekolah itu. Bagi yang tidak diterima, harus secepatnya mencari sekolah lain yang dapat menerima anaknya untuk bersekolah di situ.

Segala sesuatunya kelihatannya berjalan linier, transparan, dan fair. Tapi, kondisi riilnya tidaklah serupa dengan yang tampak di permukaan. Betapa tidak, ternyata banyak pula siswa baru yang diterima di suatu sekolah meskipun nilainya di bawah passing grade yang telah ditentukan dan tidak terupdate di internet, alhasil tidak dapat diakses publik.

Secara legalitas, mereka dipayungi Dinas Pendidikan lewat jalur nonakademis, yakni diperuntukkan buat siswa yang pernah menjadi juara di suatu event olah raga atau seni di tingkat daerah (propinsi/kabupaten/kota), nasional, hingga internasional. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya piala, sertifikat, atau surat keterangan dari pihak panitia penyelenggara kejuaraan. Lain daripada itu, pihak sekolah pun menerima siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomis, biasanya dikhususkan bagi masyarakat yang berada di sekitar sekolah tersebut.

Dalam tulisan ini, jalur PSB via seni maupun yang berasal dari keluarga tidak mampu tidak akan dibahas. Di sini hanya akan dielaborasi PSB melalui jalur atlet, karena melalui jalur ini ternyata banyak menimbulkan tanda tanya besar bagi pelbagai pihak terkait (stakeholder).

Pertanyaan pokoknya adalah, apakah para siswa yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan itu benar-benar "atlet juara" di berbagai kejuaraan kabupaten/kota/propinsi/nasional/internasional? Sebab, tatkala keran PSB jalur atlet dibuka, banyak sekolah terutama sekolah-sekolah "favorit" kebanjiran para calon siswa yang mengaku "atlet juara" ini dan itu. Tidak jarang pihak sekolah difait accompli, karena mereka sudah dinyatakan "lolos seleksi" oleh Dinas Pendidikan; sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus diterima di sekolah itu. Malahan terdapat sejumlah sekolah negeri "bukan favorit" mengalami eksodus siswa baru (yang diterima lewat jalur akademis/passing grade) dan untuk selanjutnya mereka memasuki sekolah-sekolah "favorit" melalui jalur nonakademis/nonpassing grade atas restu Dinas Pendidikan.

Pola PSB melalui jalur nonakademis seyogyanya dihapuskan saja. Di samping tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, juga rawan terhadap atau berkecenderungan menimbulkan adanya penyimpangan dalam implementasinya, semisal adanya pemberian sertifikat "atlet juara" dan sejenisnya. (Terhadap perkeliruan semacam ini sesungguhnya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, berdasarkan pasal 242 KUHP)

Guna mengakomodasi para atlet yang bersekolah, sudah saatnya dibuka sekolah khusus atlet, sehingga tidak akan merecoki sekolah-sekolah umum dengan dalih jalur nonakademis-"atlet juara" sebagaimana dipaparkan di muka. Di sini, selain akan digembleng sebagaimana atlet olahraga umumnya, mereka juga akan belajar berbagai mata pelajaran laiknya sekolah umum, artinya kurikulum sekolah tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Perbedaan antara sekolah khusus atlet dan sekolah umum terletak pada proses pembelajarannya, yaitu interaksi antara guru dan siswa tidak melulu melalui tatap muka/pertemuan kelas (vis a vis interaction/classroom meeting). Bagi siswa yang tidak sempat belajar di kelas karena harus ikut bertanding di suatu event olahraga dalam kurun waktu tertentu, misalnya, dapat diberikan semacam modul atau tugas-tugas belajar mandiri lainnya, sehingga proses pembelajarannya masih tetap berlangsung. Begitu pun dalam hal evaluasi pembelajaran atau ujian, tidak perlu massive, tetapi disesuaikan dengan jadwal pertandingan yang diikuti oleh siswa-atlet yang bersangkutan. Jika lulus ujian akhir sekolah, mereka pun berhak memperoleh ijazah sesuai dengan jenjang pendidikannya (SLTP/SLTA).

Mudah-mudahan dengan adanya sekolah khusus atlet ini akan diperoleh atlet-atlet handal sekaligus yang berwawasan akademis memadai, pada gilirannya menjadikan aset atau investasi berharga untuk kejayaan olah raga Indonesia umumnya dan daerah (propinsi/kabupaten/kota) khususnya di masa depan.

Boleh jadi inilah salah satu alternatif solusi terbaik secara profesional dan proporsional untuk mengurai benang kusut PSB selama ini, khususnya demi mengantisipasi banyaknya siswa-atlet yang ingin tetap berkiprah di dunia olahraga sembari bersekolah.

sumber: http://re-searchengines.com/art05-15.html

Pemko Masih Diskriminasikan Anggaran Pendidikan Keagamaan

Secara umum perhatian Pemko Padangpanjang terhadap pendidikan di kota ini sangat baik dan berhasil. Namun nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.

Demikian diungkapkan Ketua Komisi II DPRD Kota Padangpanjang dari Fraksi Golkar Novi Hendri.SE.M.si Dt. Bagindo Saidi, pada pendapat akhir Fraksi Golkar terhadap rancangan perubahan APBD Kota Padangpanjang tahun anggaran 2008.

Kepada padangmedia.com Sabtu (15/11), Novi Hendri yang juga ketua KNPI Kota
ini menambahkan, belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. "Ironisnya sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta. Faktanya adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk
kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada daerah, padahal konteksnya berbeda," jelas Novi.

Ditambahkannya, yang urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintah daerah, harusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang pada sekolah yang berbasis keagamaan.

Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan adalah PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, Fraksi Golkar, seperti dijelaskan Novi Hendri, sangat merekomendasikan kepada Pemko Padangpanjang untuk mempelajari hal ini. Terutama menyangkut pendidikan yang berbasis islami dalam mendukung julukan Padangpanjang sebagai kota Serambi Mekah.

sumber: http://www.padangmedia.com/v2/index.php?mod=berita&id=2107

Selasa, 28 April 2009

tiga juta anak perlu pendidikan khusus

Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.

”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.

Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik
sumber: http://www.bawean.net/2009/04/tiga-juta-anak-butuh-pendidikan-khusus.html

Gereja dan Pendidikan

Krisis yang menghantam Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini telah mengantar bangsa dan negeri ini pada kondisi yang amat memprihatinkan. Realitas yang sedemikian itu hampir terjadi di semua aspek. Media massa menurunkan laporan yang amat transparan dan rinci tentang carut-marut wajah Indonesia, tanpa harus merasa risih dan rikuh. Dilaporkan misalnya Indeks Pembangunan Manusia mengalami kemerosotan dari 0,684 ke 0,682 sehingga peringkat Indonesia turun dari posisi 110 menjadi 112 dari 175 negara di dunia (Kompas, 10-07-2003).

Meski angka sering tidak menunjukkan fakta senyatanya, namun dengan mata telanjang dapat dilihat penurunan kualitas manusia Indonesia terjadi di mana-mana. Hal ini dapat dilacak dari kondisi masyarakat kelas bawah yang tidak da- pat lagi menjangkau pelayanan kesehatan, tidak dapat lagi membeli kebutuhan pokok sehari-hari dengan layak, dan tidak dapat lagi menjangkau pelayanan pendidikan.

Upaya bunuh diri yang dilakukan seorang anak SD beberapa waktu lalu, maraknya aksi teror, kekerasan, pembunuhan adalah contoh paling segar tentang rendahnya, bahkan makin tidak beradabnya manusia Indonesia. Dalam hal korupsi misalnya "prestasi" Indonesia amat memalukan. Menurut laporan media massa baru-baru ini Indonesia menempati peringkat keenam sebagai negara terkorup di dunia.

Menanggapi kondisi ini, Nurcholish Madjid dengan amat keras menyatakan bahwa Allah melaknat yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara suap-menyuap.

Menurut Nurcholish, rakyat Indonesia harus melaksanakan ajaran Allah di dalam kehidupannya, dan dengan cara itu bangsa Indonesia yang paling korup sekaligus bangsa paling laknat, bisa diakhiri.

Ironisnya korupsi bahkan bisa terjadi dalam jumlah besar justru di kantor-kantor pemerintah yang mengurusi soal-soal keagamaan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam kehidupan bangsa ini? Orang banyak kemudian dengan mudah mempertanyakan tentang dunia pendidikan, bahkan menuding bahwa pendidikan tidak berhasil mendidik bangsa ini. Padahal dunia pendidikan juga memiliki masalah-masalah yang tidak kecil dan sederhana. Para pakar dan birokrat pendidikan mencatat beberapa permasalahan mendasar yang sejak lama digumuli dunia pendidikan.

Meski pun belum maksimal, namun pelaksanaan wajib belajar 9 tahun telah berhasil mendorong perluasan kesempatan belajar di SD dan SLTP. Krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 berdampak buruk tersebut karena terjadi penurunan angka partisipasi murni yang berakibat tingginya angka putus sekolah dan menurunnya murid baru.

Mutu pendidikan adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pemerataan dan perluasan kesempatan belajar. Asumsinya, perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu akan mendorong terwujudnya kelompok masyarakat yang bermutu.

Relevansi pendidikan berkaitan dengan sejauhmana lulusan suatu sekolah dapat langsung diserap oleh dunia kerja pada umumnya lebih-lebih dewasa ini perkembangan iptek berjalan dengan amat cepat. Masalah relevansi secara umum lebih mengarah pada pendidik- an kejuruan dan profesional yang berorientasi pada penyiapan tenaga kerja terdidik pada berbagai tingkatan untuk mengisi kesempatan kerja.

Permasalahan akibat pengelolaan pendidikan yang sangat sentralistis, kurang berkembangnya kemampuan daerah dalam mengatur dan mengelola sektor pendidikan di daerah. Selain itu, selama ini sekolah juga tidak mempunyai otonomi dalam mengelola sekolah, sekolah hanya menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang lebih tinggi.

Soal pembiayaan tidak terlalu mudah apalagi jika sekolah-sekolah tidak memiliki kreativitas dalam menggalang dana di tengah masyarakat. Masalah-masalah makro dunia pendidikan akan lebih rumit dan kompleks lagi jika lebih menukik pada problema yang dihadapi oleh sekolah-sekolah Kristen khususnya dalam mengimplementasi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam UU No 20 Tahun 2003 eksistensi perguruan swasta terdapat dalam Pasal 55 Ayat (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama...Penjelasan ayat tersebut: "Kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini".

Dasar yang Kukuh

Pasal ini memberikan dasar yang kukuh dan legitim bagi sekolah-sekolah Kristen untuk memberikan kontribusi optimal dan terbaik bagi upaya pencerdasan bangsa.

Dalam peraturan pemerintah nanti mesti terjamin bahwa sekolah-sekolah Kristen memiliki otonomi, kemandirian untuk mengekspresikan ciri-khasnya dengan leluasa. Pemerintah dan masyarakat menghargai dan menjamin eksistensi sekolah Kristen berdasarkan undang-undang.

Pada tanggal 13-16 Oktober 2003 di Manado diselenggarakan Sidang Pengurus Pleno (SPP) III Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia yang diikuti oleh utusan MPK Wilayah seluruh Indonesia dan lembaga-lembaga mitra yang bergerak di bidang pendidikan. SPP III MPK di Indonesia harus meneguhkan kembali komitmen lembaga pendidikan Kristen di Indonesia, yaitu bahwa melalui ciri-khasnya sekolah-sekolah Kristen akan terus memberi kontribusi bagi pencerdasan bangsa.

Pendidikan Kristen perlu dibangun dengan mengembangkan: lingkungan sekolah yang aman dan tertib, ada visi dan target mutu yang ingin dicapai, ada kepemimpinan yang kuat, adanya komitmen dari kepala sekolah, guru, dan para siswa untuk berprestasi, adanya pengembangan staf sekolah yang terus-menerus sesuai dengan tuntutan iptek, adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu, dan adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua murid/masyarakat.

Dalam rangka implementasi UU Sisdiknas dan era otonomi daerah di sektor pendidikan, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sosialisasi kritis tentang materi UU Sisdiknas; pemberdayaan wilayah/lembaga pendidikan: education watch/advokasi dan bantuan hukum pendidikan, mencermati perda di daerah, mencermati/mengkaji Rancangan PP.


sumber: http://www.in-christ.net/artikel/8-pendidikan/gereja-dan-pendidikan

MELIHAT ARAH DAN KEBIJAKAN PENELITIAN AGAMA TAHUN 2005

Lahirnya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama telah berimplikasi terhadap perubahan struktur unit kelitbangan dan kediklatan di lingkungan Departemen Agama. Perubahan tersebut dinyatakan pada nomenklatur yang semula Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, berubah menjadi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Dengan berlakunya KMA tersebut, maka untuk pertama kalinya tugas-tugas kelitbangan dan kediklatan dilingkungan Departemen Agama diintegrasikan dalam satu unit eselon I.

Sesuai KMA nomor 1 Tahun 2001, tugas pokok badan Litbang Agama dan Diklat keagamaan adalah menyelenggarakan sebagian tugas pokok Departemen Agama di Bidang Penelitian dan Pengembangan Agama dan Diklat keagamaan berdasarkan kebijaksanaan pelaksanaan yang ditetapkan oleh menteri. Untuk melaksanakan tugas tersebut Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan menjalankan fungsi sebagai berikut : 1) perumusan visi, misi, dan kebijakan teknis di bidang penelitian agama pengembangan agama dan diklat keagamaan; 2) koordinasi dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan keagamaan.; 3) Perumusan standarisasi di bidang penelitian dan diklat keagamaan; 4) perencanaan dan pelaksanaan program serta pengendalian dan pengamanan teknis operasional di bidang penelitian pengembangan agama dan diklat keagamaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5) Penyiapan, pembinaan penyelenggaraan diklat; dan 6) penelaahan dan penilaian serta penyajian laporan hasil penelitian, untuk bahan penyusunan dan penyempurnaan kebijakan pelaksanaan dan teknis di lingkungan Departemen Agama.

Untuk menjalankan tugas dan fungsinya Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan mempunyai 6 unit eselon II ditingkat pusat, yaitu 1 sekretariat dan 5 pusat meliputi, 1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaaan; 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan; 3) Pusat Penelitian dan pengembangan Lektur Keagamaan; 4) Pusat Pendidikan dan Latihan Administrasi 5) Pusat Pendidikan dan latihan tenaga teknis Keagamaan, dan 15 unit eselon III sebagai unit pelaksana Teknis (UPT) di daerah, terdiri dari 3 balai Penelitian dan Pengembangan Agama terdapat di Semarang, Makasar, dan Jakarta, dan 12 Balai Diklat keagamaan terdapat di Medan, Palembang, Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Ambon.

Upaya mengintegrasikan tugas-tugas kelitbangan dengan kediklatan dan menjabarkannya dalam bentuk program dan kegiatan secara utuh, terarah, dan proporsional, bukan hal yang mudah. Namun, dengan diterbitkannya sejumlah peraturan perundangan yang mengiringinya sebagai penjabaran lebih lanjut pemberlakuan KMA Nomor 1 tahun 2001 tersebut, jalan yang semua tampak sulit, secara perlahan makin terbuka. Kondisi tersebut juga tidak lepas dari adanya dukungan berbagai pihak, terutama Menteri Agama beserta jajarannya, dan seluruh unit kerja di lingkungan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Pusat dan Daerah, sehingga secara bertahap amanat KMA nomor 1 Tahun 2001 dapat dijalankan.

B. Arah Kebijakan

Untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan SDM di lingkungan Departemen Agama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan telah menetapkan langkah-langkah kebijakan teknis, baik di bidang kelitbangan maupun kediklatan. Kebijakan teknis dibidang kelitbangan meliputi : 1) peningkatan relevansi topik-topik penelitian dengan dengan program pembangunan nasional dan kebutuhan unit-unit pelayanan Departemen Agama, di tingkat pusat dan daerah; 2) peningkatan mutu hasil penelitian, melalui peningkatan kualitas SDM peneliti dan pengembangan jaringan kemitraan penelitian; 3) peningkatan diversivikasi metodologi penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan semakin kaya dan teruji dari segi metode, dan hasilnya dapat dijadikan pijakan bagi pemantapan kebijakan pimpinan Departemen Agama; 4) Peningkatan komunikasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dengan para pimpinan di lingkungan Departemen Agama Pusat dan Daerah maupun masyarakat luas; 5) Perluasan jaringan kerjasama dengan lembaga penelitian dan lembaga-lembaga lainnya baik di lingkungan instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga non pemerintah; dan 6) pengembangan budaya akademis bagi para tenaga fungsional peneliti.

Sementara itu, dalam bidang kediklatan ditempuh beberapa kebijakan teknis, meliputi: 1)pengembangan kapasitas SDM penyelenggara diklat baik melalui pendidikan dijalur formal maupun informasi; 2) peningkatan jumlah widyaiswara yang berkualitas melalui rekruitment terhadap para pegawai yang berminat dan memenuhi syarat, disamping terus berupaya memperoleh calon widyaiswara melalui penerimaan calon pegawai; 3) pengembangan program diklat yang memenuhi kebutuhan pegawai dan seluruh unit dilingkungan Departemen Agama, dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat; 4) peningkatan kualitas instrument dalam bidang kediklatan, baik secara substansial maupun teknis; 5) penyiapan konsep kebijakan teknis kediklatan yang meliputi berbagai jenis dan arah program pedoman kediklatan, 6) Pembagian dan pemerataan kegiatan kediklatan Pusat dan Daerah secara proporsional, dimana pusat melakukan kegiatan kediklatan pada tingkat nasional dan daerah melakukannya pada tingkat lokal; 7) Pengembangan jaringan kemitraan dalam penyelenggaraan diklat, baik dengan unit-unit diteknis lingkungan Departemen Agama atau dengan intitusi diluar Departemen Agama tersebur; dan 8) Peningkatan jumlah sasaran kediklatan untuk mencapai siklus empat tahunan bagi PNS Depag.

Berbagai langkah strategis kelitbangan dan kediklatan tersebut dibangun untuk menyediakan iklim kondusif bagi pelaksanaan amanat rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 Pembangunan bidang agama meliputi : 1) program peningkatan pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan pengembangan nilai-nilai keagamaan, 2) program peningkatan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan 3) program peningkatan pelayanan kehidupan beragama; 4) program pengembangan lembaga-lembaga social keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan; 5) program Penelitian dan Pengembangan Agama; dan 6) program peningkatan kerukunan umat beragama

Melalui kebijakan teknis yang tepat dan langkah-langkah pelaksanaan program kelitbangan dan kediklatan yang mempertimbangkan berbagai aspek kebutuhan, diharapkan dukungan terhadap tercapainya program-program pembangunan agama dapat dilaksanakan secara optimal yang pada gilirannya dapat mendorong keluarnya bangsa ini dari krisis multidimensional.

C. Implementasi Program

Peningkatan Pelayanan keagamaan merupakan program pembangunan agama yang secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Peningkatan pelayanan tersebut diantaranya telah dirasakan masyarakat dengan bertambahnya kemudahan dan keleluasaan menjalankan ibadah, serta penyediaan fasilitas pelayanan secara memadai. Upaya mewujudkan kemudahan tersebut pada parakteknya senantiasa membutuhkan pembenahan baik ditingkat supra maupun infra struktur kelembagaan, termasuk ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang professional. Dalam konteks pembenahan, beberapa pelayanan keagamaan yang menjadi isu sentral dan perhatian masyarakat luas menjadi prioritas utama. Untuk itu, penelitian dan pengembangan kebijakan tentang penyelenggaraan haji, dan pengelolaan sumber ekonomi umat yang diperoleh dari zakat, infak, shodaqoh, dan sejenisnya menjadi program kelitbangan. Pelayanan keagamaan yang lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan penyediaan kitab suci, literatur keagamaan terutama terjemahan dan tafsir, pelayanan nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR), sertifikasi tanah wakaf, pembinaan keluarga sakinah, penyediaan bacaan keagaaman, pembinaan rumah-rumah ibadah, dan pelayanan hisab-rukyat.

Untuk mendukung kebijakan dan penyediaan SDM bagi program peningkatan pelayanan keagaaman, Badan litbang Agama dan Diklat Keagamaan telah melaksanakan berbagai kegiatan kelitbangan antara lain: Penelitian tentang penyelenggaraan Ibadah Haji; penelitian tentang pengelolaan zakat, infaq, dan shodaqoh; studi tentang penerapan label halal terhadap produk pangan; penelitian tentang fungsi social rumah ibadah dari berbagai agama; penelitian tentang pandangan masyarakat terhadap KUA; pentashihan Al-quran standar, penyempurnaan Al-quran dan terjemahannya Depag, penelitian mushaf di Indonesia, seminar hisab rukyat, studi tentang perkawinan campuran di Negara RI, dan perkawinan bawah tangan.

Tentu saja, dengan tantangan zaman yang semakin kompleks baik secara kuantitas mapun kualitasnya, diperlukan sebuah hasil penelitian yang akan dapat dijadikan panduan bagi masyarakat untuk mengarungi arus globalisasi yang sudah kita rasakan side efek negatifnya. Sebagai dampaknya formulasi terhadap penelitian pendidikan dan hukum sudah seharusnya lebih “membumi” dengan melihat realitas keagaamaan pada masyarakat yang cepat berubah
sumber: http://www.ditpertais.net/swara/warta25-04.asp

Pendidikan Agama dalam Keprihatinan

DALAM konstitusi, negara kita bukanlah negara agama, tapi diistilahkan dengan negara hukum atau rechstaat, sebaliknya bukan negara kekuasaan atau machstaat.
Tapi, bahwa agama menjadi tiang prioritas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tak dapat dipungkiri. Meski dalam praktiknya jauh dari pedoman dan nilai-nilai agama secara ideal.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila menjadi barometer utama, dimana agama yang diakui secara resmi harus menjadi way of life bagi pemeluknya.

Dalam cakupan yang lebih khusus lagi, dunia pendidikan merupakan media utama dalam mengejawantahkan sila pertama tadi secara lebih tersistem dan terarah.

Dari segi hukum, kelangsungan pendidikan keagamaan mendapat kedudukan yang cukup kuat. Namun demikian, ‘porsi’ yang diberikan oleh para pendidik di sekolah-sekolah, masih jauh dari harapan kita semua.

Karena target jam tidak lebih dari dua jam dalam seminggu dari keseluruhan paket kurikulum yang harus diajarkan. Lebih kacau lagi, dalam praktiknya banyak pula siswa menengah terutama yang sengaja tidak masuk pada jam-jam pelajaran agama tersebut.

Belum lagi materi yang diajarkan, jauh dari upaya mendukung peserta didik untuk bisa bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur.

Yang umum terjadi, banyak anak didik baik masih dalam proses menuntut ilmu ataupun sudah menamatkan sekolahnya, bertingkah laku atau bersikap yang jauh sebagai sikap seorang yang beragama, Islam khususnya.

Ledakan-ledakan perkelahian antar sesama pelajar, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, berani dan melawan terhadap guru/orangtua dan lainnya,menjadi cermin belum berhasilnya pendidixkan agama disekolah.

Kegagalan dalam dunia pendidikan, juga tak luput dari pengaruh hiburan yang ada, misalnya televisi, video, film, sinetron, bacaan-bacan yang tidak mendukung pendidikan agama.

Semua itu sesungguhnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik yang sadar atau tidak sadar pada gilirannya nanti akan mencetak sifat dan akhlak anak untuk berbuat yang tidak baik.

Pendidikan agama yang diberikan, harus menyentuh aspek aqidah dan akhlak peserta didik.

Memang di dalam kurikulum pendidikan agama Islam sudah dibagi kedalam sub-sub pelajaran yang akan diajarkan, misalnya bidang Al-Quran, aqidah, akhlak, tarikh Islam, muamalah dan sebagainya.

Tapi paling tidak bidang aqidah dan akhlak harus diprioritaskan. Isinya tentu lebih banyak bersifat nasehat yang menyentuh hati nurani, dari pada ilmu yang menyentuh akal pikiran.

Mengasah otak memang penting, bahkan saking pentingnya banyak lembaga pendidikan yang mengadakan kompetisi atau lomba yang berorientasi pada kecerdasan akal.

Dan sedikit sekali kita temukan lomba yang berorientasi pada kecerdasan hati dan spiritual. Padahal kecerdasan akal tidak otomatis membawa anak itu menjadi baik dan bermoral.

Bahkan keberhasilan seseorang tidak dipengaruhi oleh kecerdasan intelektualnya, akan tetapi justru banyak ditentukan oleh kecerdasan emosi dan spiritual (kecerdasan hati dan agama).

Maka tidak heran banyak anak yang tidak pandai, tapi ia sukses karena ia mempunyai kecerdasan hati dan berakhlak mulia.

Dewasa ini, pendidikan keagamaan sudah tidak lagi menjadi hal utama dalam proses belajar mengajar di sebuah institusi bernama sekolah umum.

Dalam hal ini, khususnya pendidikan agama Islam. Ditambah lagi dengan tidak dimasukkannya mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam subjek Ujian Nasional.

Peserta didik akan lebih mengutamakan enam subjek Ujian Nasional dibandingkan mempelajari pendidikan agama Islam yang nantinya tidak mendukung angka-angka pencapaian standar kelulusan Ujian Nasional. Disini telah terjadi salah persepsi dengan Mata Pelajaran Agama Islam.

Selama ini, di sekolah kita hanya mempelajari agama berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah untuk mencari angka dan nilai dalam waktu belajar 2 x 45 menit dalam satu minggu. Hal ini jelas melenceng dari tujuan utama belajar sebenarnya.

Dalam pendidikan di sekolah pada dasarnya semua guru terlibat dan bertanggung jawab dalam upaya membentuk sikap dan prilaku peserta didiknya menjadi baik, walaupun tidak mustahil selama ini guru agama yang dianggap paling berperan dan bertanggung jawab terhadap sikap dan prilaku anak didik di sekolah.

Persoalannya adalah bagaimana pendidikan agama di sekolah dapat menciptakan suasana yang dapat memotivasi anak untuk cinta terhadap materi agama dan juga menciptakan kebiasaan hidupnya sehari-hari dengan akhlak yang mulia.

Kebiasaan yang baik yang dimulai dari sekolah akan menjadi kiat yang baik dalam mendidik akhlak si anak.

Misalnya, disekolah dibiasakan sholat berjamaah, membaca Al-Quran sebelum jam pelajaran dimulai, melakukan doa dan dzikir bersama setiap seminggu sekali, diadakan lomba-lomba keagamaan dan lainnya.

Semua itu sesungguhnya dapat memotivasi anak untuk ikut andil dalam merubah pola pikir dari anti agama menjadi cinta agama.

Pendidikan kita dengan sekolah sebagai ujung tombaknya diharapkan mampu menumbuhkan manusia yang berkepribadian, sehingga dapat mengikis mentalitas masyarakat yang semakin terkontaminasi budaya luar.

Untuk menumbuhkan kepribadian peserta didik dalam interaksi pembelajaran dibutuhkan peran signifikan guru dan optimalisasi budaya sekolah.

Peserta didik hendaknya diarahkan untuk menemukan jati dirinya dan kemampuan intelektual maupun bakat-bakat yang dimilikinya, jadi tidak sekedar menerima pelajaran.

Setiap peserta didik harus dihargai karena dirinya sendiri bukan karena prestasi atau orangtuanya.

Mereka juga harus diarahkan untuk bersikap aktif, memikirkan apa yang dipelajari, kritis serta dewasa dalam menilai masalah yang dihadapi.

Peserta didik juga perlu diajak mencermati problematika soial, politik, budaya, ekonomi dan hal-hal yang terjadi di kelas atau masyarakatnya agar tumbuh sikap dan perilaku sosial dan humanismenya.

Dengan demikian, sistem pengajaran yang selama ini diterapkan perlu dievaluasi.

Mengingat anak sekarang lebih banyak menyerap input-input dari bermacam-macam informasi dan pengalaman yang berkembang. Sementara metode dan penyajian materi yang diberikan oleh guru-guru kadang-kadang monoton tidak bisa memotivasi anak dalam belajar.

Harapan kita bahwa pendidikan keagamaan harus kembali kita jadikan pelajaran primadona, untuk mencegah dari tindakan kriminal yang masih banyak dilakukan oleh siswa-siswa sekolah.

sumber: http://cetak.bangkapos.com/opini/read/377/Pendidikan+Agama+dalam+Keprihatinan.html

MEWUJUDKAN GENERASI BERKUALITAS MELALUI PEMBANGUNAN KELUARGA BERKETAHANAN

Memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang sangat kompleks. Di satu sisi, secara internal kita masih belum mampu keluar dari krisis multidimensial yang telah berlangsung sejak tahun 1997. Sementara di sisi lain, secara eksternal kita dihadapkan pada realitas persaingan antar bangsa yang semakin meningkat dan kompetitif. Konon, kunci untuk mengatasi masalah dan menjawab tantangan tersebut, terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Artinya, bila bangsa Indonesia mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara signifikan di era sekarang ini serta mewujudkan generasi yang berkualitas di masa mendatang, masalah dan tantangan bangsa tersebut, akan dapat diatasi dengan mudah. Pengalaman membuktikan, negara-negara di Asia Timur seperti Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi dan sosial akibat perang dan kemiskinan sumber daya alam, dalam waktu yang relatif singkat karena tersedianya sumber daya manusia dengan kualitas yang memadai.
Persoalannya, menciptakan sumber daya manusia dan generasi masa depan yang berkualitas, bukanlah persoalan yang sederhana dan mudah. Karena selain membutuhkan strategi yang tepat dengan program-program yang memiliki daya ungkit tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dibutuhkan perencanaan yang baik dan pengelolaan yang baik pula, juga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak dapat dikesampingkan pula kemauan dan semangat untuk bekerja keras, rela berkorban, sabar, disiplin, jujur dengan mengedepankan unsur kebersamaan dan gotong royong.
Logikanya, mustahil bangsa ini akan mampu mewujudkan generasi berkualitas bila tidak ada keseriusan dari pemerintah, segenap komponen bangsa dan masyarakat untuk secara bersungguh-sungguh berupaya meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kualitas sumber daya manusianya melalui pola pendidikan dan atau pembinaan yang tepat serta penanganan yang profesional. Hal ini mengisyaratkan, bangsa kita harus memiliki kemauan dan tekat yang kuat untuk membangun generasi yang tidak saja sehat, cerdas dan trampil, tetapi juga generasi yang tidak gagap teknologi, menghargai keterbukaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan aturan-aturan agama. Sebab tanpa berbekal kemauan dan tekat kuat yang diiringi dengan model pengelolaan yang tepat, upaya-upaya yang dilakukan meskipun dengan biaya yang besar dan melibatkan para ahli dibidangnya, hasilnya tidak akan pernah optimal bahkan akan cenderung mengalami kegagalan.
Berdasarkan analisis penulis, membangun atau membentuk generasi masa depan yang berkualitas, harus dimulai dengan mengkondisikan tiga lingkungan strategis, yakni sekolah, masyarakat dan tidak dapat dikesampingkan adalah keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh setiap individu. Keluarga melalui delapan fungsinya yaitu fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan merupakan wahana persemaian nilai-nilai budaya bangsa dan norma agama yang sangat efektif untuk membangun karakter/kepribadian anak, disamping sebagai wahana ideal bagi setiap individu untuk berlatih ketrampilan, bersosialisasi maupun memompa kepercayaan diri. Karena dalam lingkungan keluarga, setiap individu dituntut tidak sekedar mampu memahami dan mengerti akan nilai, norma, ilmu dan ketrampilan, tetapi juga harus mampu pula untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Persoalannya, keluarga yang bagaimanakah yang mampu dijadikan sebagai wahana pembentukan generasi yang berkualitas? Jawabnya adalah keluarga yang berketahanan. Keluarga berketahanan yang dimaksud sesuai UU No 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil serta psikis mental-spiritual untuk hidup mandiri dan mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Ini berarti, keluarga yang berketahanan harus memenuhi tiga syarat mutlak: (1) Keluarga yang bersangkutan harus didasari oleh perkawinan yang sah dan memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Keluarga yang dibangun harus memiliki wawasan ke depan, bertanggung jawab dan berkomitmen tinggi untuk hidup mandiri, (3) Keluarga yang dibangun harus mampu hidup secara harmonis, memiliki jumlah anak yang ideal (dua anak lebih baik), sehat dan sejahtera. Ketiga syarat tersebut harus mampu dicapai oleh sebuah keluarga untuk mampu menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang mencakup delapan fungsi. Sementara kemampuan keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga menjadi syarat yang harus dipenuhi agar keluarga yang bersangkutan dapat menjadi keluarga yang berketahanan.
Keluarga yang berketahanan akan menjadi wahana efektif untuk membentuk generasi yang berkualitas karena dalam lingkungan keluarga yang memiliki ketahanan tinggi, akan selalu mengedepankan enam aspek yang dapat dijadikan pegangan hidup bagi setiap individu yang ada didalamnya terutama anak sebagai calon generasi penerus keluarga, masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, membangun keluarga berketahanan juga harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
Pertama, aspek keagamaan. Dalam lingkungan keluarga yang berketahanan, aspek keagamaan harus menjadi landasan utama semenjak keluarga terbentuk. Sebab keluarga ini harus berprinsip, tanpa landasan agama yang cukup, keluarga tidak mungkin dapat melaksanakan fungsi keagamaan secara baik. Apalagi secara hakikat keluarga ini menyadari bahwa keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak serta anak dan anggota keluarga lainnya dalam kehidupan beragama. Ini berarti, pelaksanaan fungsi keagamaan dalam keluarga berketahanan bukan sekedar setiap anggota keluarga tahu tentang berbagai kaidah dan aturan hidup beragama, melainkan juga harus benar-benar merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, aspek sosial budaya. Salah satu tugas keluarga adalah sebagai institusi penerus kebudayaan dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks kedudukan keluarga sebagai penerus kebudayaan, keluarga yang berketahanan diharapkan memahami bahwa aspek sosial budaya memerlukan perhatian yang cukup ketika akan membangun sebuah keluarga. Artinya, keluarga harus dibangun dalam situasi yang kondusif dan memberikan kesempatan kepada seluruh angggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. Untuk itu, dalam keluarga yang berketahanan, terutama pasangan suami istreri, akan selalu berupaya memantapkan budaya sendiri dalam koridor yang jelas, namun tetap mampu menyerap budaya asing yang positif dan mencegah yang negatif demi perkembangan masa depan keluarga.
Ketiga, aspek ekonomi. Pembangunan aspek ekonomi dalam keluarga berketahanan perlu selalu diupayakan secara optimal dalam rangka membangun keluarga yang mandiri secara ekonomi. Karena keluarga ini harus memiliki kesadaran bahwa keluarga berketahanan baru dapat terbentuk manakala keluarga yang bersangkutan telah memiliki landasan ekonomi yang kuat. Keberhasilan dalam aspek ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan aspek-aspek lain dalam keluarga. Keluarga ini telah dapat membayangkan, bagaimana mungkin sebuah keluarga yang berpenghasilan sangat rendah akan mampu mencukupi kebutuhan hidup secara layak, tanpa ada dukungan dari pihak lain atau berhutang kesana kemari. Kondisi ini jelas akan menimbulkan permasalahan sosial, budaya, lingkungan hidup dan kependudukan dalam arti luas.
Keempat, aspek biologis dan kesehatan. Pembangunan aspek biologis dan kesehatan selalu menjadi prioritas bagi keluarga yang menginginkan menjadi keluarga berketahanan. Karena keluarga ini harus berasumsi bahwa dalam kehidupannya, setiap manusia memiliki berbagai kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang cukup vital adalah kebutuhan biologis dan kebutuhan akan kesehatan. Kebutuhan biologis salah satunya menyangkut kepentingan fungsi reproduksi, dimana keinginan untuk memperoleh keturunan dan pemuasan nafsu biologis (seks) dapat terpenuhi dengan baik, selain kebutuhan biologis lainnya sebagai makhluk hidup. Sementara kebutuhan akan kesehatan menyangkut kepentingan perlunya hidup sehat, agar seluruh anggota keluarga dapat bekerja dan beraktivitas dengan baik serta dapat menikmati hasil-hasilnya dengan penuh kebahagiaan. Mengingat besarnya hubungan antara aspek biologis dan kesehatan, keluarga khususnya suami isteri dalam keluarga yang berketahanan, tidak menghadapinya secara biofisik belaka. Melainkan didasari pula oleh pandangan psikis maupun moral dan sosial.
Kelima, aspek pendidikan. Keluarga berketahanan seharusnya dapat mengerti sepenuhnya bahwa pendidikan dalam keluarga sangat penting diperhatikan untuk mencapai keluarga yang berketahanan tinggi. Apalagi keluarga ini juga mengetahui, bahwa Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, menyebut keluarga sebagai salah satu dari Tri Pusat Pendidikan. Itulah sebabnya keluarga yang berketahanan selalu berupaya memberdayakan diri agar mampu menjadi institusi yang handal dalam mencetak generasi penerus yang tidak saja sehat, cerdas, dan trampil, tetapi juga berbudi luhur serta bertaqwa kepada Tuhan YME. Sebagai institusi yang pertama kali dikenal anak, keluarga berketahanan akan selalu berupaya mengkondisikan diri agar menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi anak, tenang dan penuh kasih sayang. Sehingga anak akan menjadi generasi penerus yang dapat diharapkan perjuangannya dikemudian hari.
Keenam, aspek cinta kasih. Aspek ini juga perla mendapat perhatian lebih pada keluarga yang berketahanan karena keluarga ini mengetahui secara pasti bahwa tanpa komunikasi yang baik antara orangtua dan anaknya, antara anak dengan anggota keluarga lainnya, dan antara anak dengan lingkungannya, keluarga yang benar-benar berketahanan tidak akan terwujud Termasuk komunikasi disini adalah komunikasi anak dengan keseluruhan pribadinya, terutama pada saat anak masih kecil yang masih menghayati dunianya secara global dan belum terdirefensiasikan. Oleh karena itu, keluarga tersebut akan selalu berupaya membangun dan mempertahankan aspek cinta kasih dalam keluarga karena dirasa sangat penting untuk menjembatani upaya membangun keluarga berketahanan. Apalagi suasana yang penuh cinta kasih akan menjadi modal yang tidak ternilai harganya bagi keluarga yang berketahanan untuk membahagiakan anak dan mensejahterakan keluarga itu sendiri.
Selain keenam aspek tersebut, keluarga berketahanan juga akan selalu memperhatikan aspek-aspek lain yang terkait dan memiliki daya ungkit tinggi untuk mewujudkan generasi penerus yang berkualitas. Seperti aspek pembinaan lingkungan yang memfokuskan pada penciptaan hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara keluarga dan lingkungannya baik lingkungan fisik (alam) maupun lingkungan non fisik (budaya), dan aspek sosialisasi yang mengkhususkan hubungan antar anggota dalam satu keluarga dan antar anggota keluarga dengan anggota keluarga lainnya. Mengingat aspek sosialisasi ini mendapat perhatian yang cukup, maka dalam keluarga yang berketahanan akan terbentuk individu-individu yang tidak saja mampu berkomunikasi secara baik dengan anggota keluarga lainnya atau masyarakat luas, tetapi juga individu yang mampu bersosialisasi serta menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya.
Upaya mewujudkan generasi yang berkualitas saat ini dan dimasa mendatang menjadi sangat urgen untuk menjawab tantangan zaman seiring dengan datangnya era globalisasi dan modernisasi kehidupan. Di sini keluarga harus berani mengambil peran strategis untuk memberdayakan seluruh anggota keluarganya dengan memantapkan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga sebagai manifestasi sekaligus aktualisasi dari keluarga yang berketahanan.
Mendasarkan pada kenyataan tersebut, peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XV tahun ini yang secara nasional kita peringati 29 Juni 2008 lalu, hendaknya dapat dijadikan moment penting untuk menumbuhkembangkan keluarga-keluarga berketahanan sebagai wahana pembentukan generasi masa depan yang berkualitas. Tidak hanya generasi yang sehat, cerdas dan trampil, tetapi juga generasi yang berbudi pekerti luhur, menghargai nilai budaya bangsa, memiliki konsep diri yang baik, berkepribadian serta bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Terlebih tema yang diangkat dalam Harganas tahun ini adalah ”Dengan Semangat Gotong Royong Kita Wujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” sebagai aktualisasi upaya mewujudkan keluarga berketahanan. Di sisi lain, kita ketahui bahwa visi pembangunan keluarga berencana di Indonesia saat ini adalah “Seluruh Keluarga Ikut KB” dengan misi “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” yang berarti juga sejalan dengan upaya mewujudkan generasi berkualitas melalui pembangunan keluarga berketahanan.
Sekarang tinggal bagaimana kita bersikap. Menjadikan generasi masa depan kita tetap seperti apa adanya tanpa jaminan masa depan bangsa yang cerah penuh harapan, atau berupaya membangun keluarga yang berketahanan dengan sekuat tenaga untuk melahirkan generasi berkualitas demi terciptanya bangsa yang maju, sejahtera dan mandiri. Karena sekarang kita telah sama-sama sadar bahwa generasi berkualitas adalah jaminan masa depan bangsa.

Sumber : http://prov.bkkbn.go.id

Kegiatan Keagamaan Jangan Lepas dari Pemda

Kantor Departemen Agama (Kandepag) Kab Indramayu, Kamis (5/3) di aula Hotel Wiwi Perkasa 2 menggelar agenda rutin tahunan dalam bentuk rapat kerja (Raker) tahun 2009.
Raker yang dihadiri sedikitnya 120 peserta terbagi dari 10 komponen diantaranya adalah para pejabat eselon IV, para penyuluh, pengawas, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), Kepala Madrasah Negeri, baik Aliyah, MTs, maupun MI melalui tajuk Pertegas Eksistensi Manajerial Menuju Paradigma Baru Depag Indramayu tersebut menghadirkan para nara sumber, diantaranya adalah H Rakhmat Jaya, H Moch Ichsan, H Rusydi, H Chaeruddin dan H Abu Hanifah.
Dalam Raker itu lebih mengupas pada rencana program kerja (Proker) tahun 2009, terkait program penerapan kepemerintahan yang baik meliputi sub bagian tata usaha. Selanjutnya program peningkatan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan meliputi seksi pekapontren dan seksi penamas.
Adapun program manajemen pelayanan pendidikan meliputi seksi mapenda Islam. Program peningkatan pelayanan kehidupan beragama, meliputi seksi urais, seksi penyelenggaraan haji dan umroh, penyelenggaraan zakat dan wakaf.
Evaluasi
Kepala Kandepag Kab Indranayu, H Sulaeman Hasan ketika dihubungi Pelita mengatakan, tujuan dari raker ini yang utama adalah untuk melakukan evaluasi tentang kinerja pada sub-sub yang berada di lingkungan Kandepag pada tahun 2008 untuk perbaikan ke depannya, sehingga harapan kinerja tahun 2009 ini para komponen bisa memperbaiki yang kiranya dinilai kurang baik pada tahun lalu.
Sejauh ini keberadaannya cukup baik dan normatif, tetapi baik itu relatif. Karenanya, untuk capaian ke depan pihaknya berharap kepada stakeholder agar kegiatan raker ini dijadikan sebagai momen yang tepat untuk menyusun berbagai program tahun 2009 yang sinergis dengan pemerintah daerah (Pemda), hal itu sesuai dengan amanah yang dipesankan dari Kakanwil, ujarnya.
Pesan tersebut menyarankan agar kinerja jajaran di lingkungan Kandepag ini tidak terlepas dari koordinasi Pemda dalam rangka memajukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di Kab Indramayu.
Dia menyampaikan, seperti yang dikatakan pada sambutan dari salah satu nara sumber, bahwa pada tahun 2009 ini adalah merupakan tahun Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS), artinya pada tahun ini tidak ada istilah lagi MIS di wilayah Kab.Indramayu yang tidak layak dari segi fisik, karenanya untuk mewujudkan hal itu pada tahun 2009 ini diperuntukkan kepada seluruh MIS.
Selama ini dari segi fisik bangunan MIS yang ada di Indramayu kurang bagus, karenanya mulai tahun 2009 pemerintah akan membantu dalam segi pembiayaan guna diperuntukkan rehab pada bangunan terhadap 124 MIS se-Kab.Indramayu. Dari jumlah tersebut sekitar 85 persen kondisi fisiknya cukup memprihatinkan, ujarnya.
Lebih jauh dia menerangkan, keberadaan pendidikan bidang agama di Kab Indramayu setiap tahunnya terus mengalami peningkatan signifikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, karenanya setiap kegiatan raker kami selalu mengevaluasi yang mengarah pada peningkatan, tandasnya.
Sementara itu, kata Sulaeman, pada tahun 2009 ada beberapa yang dilakukan untuk diprioritaskan dari sektor masing-masing di antaranya adalah pada program pelayanan aparatur negara, pelayanan di bidang nikah rujuk (NR), pelayanan di bidang haji dan umroh, pelayanan di bidang penyuluhan keagamaan dan pelayanan di bidang pendidikan.
Dari kelima segi pelayanan tersebut, pihaknya berharap agar dilakukan seoptimal mungkin sehingga pada akhir tahun 2009 ini, jajaran Kandepag Indramayu mampu mencapai target sebesar 100 persen, pesannya.
Oleh sebab itu, pihaknya berharap dari kegiatan ini akan terwujud berbagai program untuk dilaksanakan pada tahun ini sehingga apa yang ditargetkan akan dapat tercapai dengan baik pada akhir tahun 2009 ini sesuai dengan harapan bersama, pungkasnya

sumber: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=65926

Arti Pentingnya Pendidikan bagi Anak Usia Dini

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini itu sendiri.
"Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi anak usia dini. Namun, kenyataannya hingga saat ini masih banyak anak usia dini yang belum memperoleh layanan pendidikan," kata Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional, pada sosialisasi pendidikan anak usia dini bagi tokoh agama se-Jabotabek di Jakarta, Selasa (6/1).
Gutama menyebutkan, dari sekitar 26 juta anak usia dini, baru sekitar 28 persen yang tersentuh layanan pendidikan. Sosialisasi pendidikan anak usia dini juga diakui belum menyentuh secara merata pada lapisan masyarakat terbawah di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota.
Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal menyebutkan sejumlah masalah mendasar lainnya berkaitan dengan pendidikan usia dini. Menurut Fasli, hingga saat ini belum ada sistem yang bersifat holistik untuk menjamin keterpaduan dalam penanganan anak usia dini.
Masih banyaknya anak usia dini yang tidak tersentuh pendidikan apa pun juga disebabkan masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk mereka. Hal itu diperburuk oleh relatif rendahnya kualitas tenaga yang sudah ada.
Fasli menambahkan bahwa faktor geografis dan kendala transportasi juga menjadi masalah mendasar. Sebab, anak- anak usia dini, yang seharusnya mendapat layanan pendidikan, berada di wilayah yang sangat terpencar. Bahkan, sebagian berada di daerah yang sulit dijangkau karena kendala transportasi.
"Ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan bagi anak usia dini juga masih minim, terutama bagi mereka yang berusia di bawah empat tahun," ungkap Fasli.
Menurut Fasli, jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus pendidikan anak usia dini pun masih terbatas. Adapun penelitian di bidang pendidikan usia dini juga masih terbatas.
Gutama menjelaskan, pihaknya telah mengembangkan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi berkaitan dengan pendidikan anak usia dini tersebut, di antaranya dengan Universitas Negeri Jakarta, Univeristas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Andalas.
sumber: Harian Kompas Rabu, 7 Januari 2004

Pendidikan Anak Usia Dini Tanggung Jawab Siapa?

Pendidikan anak usia dini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari keluarga, lingkungan maupun pemerintah. Karena bagaimanapun, masa kanak-kanak sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembang karakter, kepribadian dan pertumbuhan jasmani si anak. Merujuk pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini (RPP PAUD) yang mengatur pendidikan usia dini salah satunya bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan. Tapi sayang dalam pelaksanaannya pendidikan anak sejak masih dalam kandungan sampai usia enam tahun ini, sering terabaikan. Banyak orang tua, justru menganggap pendidikan taman kanak-kanak (TK) tidak penting, faktor ekonomi, juga sering menjadi faktor pembenar untuk tidak memasukan anak-anaknya di bangku TK. Sekolah-sekolah TK tersebut memang sudah banyak bertebaran di berbagai kawasan elit sampai kawasan kumuh. Dari yang berdana besar sampai yang menggunakan anggaran seadanya sehingga harus kembang kempis untuk membiayai operasionalnya. Sekolah-sekolah taman kanak-kanak tersebut di kelola swasta sebagai penyelenggaranya.

Dengan alasan tingginya biaya operasional, tidak sedikit pihak pengelola menetapkan uang SPP dengan mahal, dan sebagai kompensasinya pihak sekolah memberikan akses layanan pendidikan dengan standarisasi mutu sesuai dengan akreditasi, begitu juga dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Tentu adalah sebuah kewajaran. Namun ternyata ada juga sekolah yang masih berjalan dengan ala kadarnya.

Di tengah kepadatan penduduk, kawasan dukuh kupang barat, sebuah sekolah TK menempati balai RT berukuran 3x5 meter yang terbuat dari gedhek. Siang itu Rabu 04/04/07, sebanyak 35 murid sedang belajar berhitung bersama ibu guru Rusiyah. Seperti sedang mengajari anaknya sendiri, perempuan berputra dua ini sesekali harus mendatangi meja murid-muridnya untuk membetulkan jari-jari tangan mungil yang dijadikan alat bantu untuk menghitung. Tak jarang juga perempuan asli Kebumen yang mengaku hanya lulusan SMEA ini harus berteriak di antara celoteh dan tangis murid-muridnya. Pekerjaan sosial ini telah dilakukan sejak empat tahun lalu bersama suaminya Sukirno (34 tahun).

Saat di datangi www.pdiperjuangan-jatim.org Sukirno yang akrab dipanggil pak guru oleh warga sekitar ini sedang sibuk menambal ban motor. � Ya, beginilah mas pekerjaan sampingan saya untuk makan sehari-hari, tadi ya ngajar, terus saya tinggal karena ada yang manggil untuk nambal ban ini, lumayan untuk kebutuhan sehari-hari�, begitulah Sukirno nyerocos mengawali pembicaraan. Menurutnya Ia dan istrinya lebih sering harus mengalah dengan tidak mengambil gaji dari sekolah yang di kelolanya, sehingga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di samping membuka usaha tambal ban di depan rumah petaknya, lelaki lulusan STM ini juga memberikan les privat kepada anak-anak tetangganya.

�Coba saja sampeyan hitung sendiri, dengan SPP Rp 12.500 per anak, perbulan kelihatannya memang besar, itu kalau bayar semua, lha kenyataannya sebulan yang bayar paling-paling sepuluh orang atau paling banter 15 orang, dikurangi biaya operasionalnya, habis mas, mau nagih ya gimana wong sama susahnya�, sambil tertawa lelaki asli Surabaya ini menceritakan sulitnya menanamkan tanggung jawab ke orang tua murid-muridnya yang rata-rata bekerja sebagai pemulung bahkan menurutnya, juga ada yang menunggak SPP sampai anaknya lulus maupun yang tidak mengambil ijazah.

Sementara ketika di singgung mengenai perkembangan anak asuhnya, pasangan suami istri ini mengaku bangga meskipun harus berada di tengah-tengah keterbatasannya. �Saya nggak malu ngelola sekolah ini, meskipun disini keadanya hanya begini, sebab ada juga beberapa mantan anak didik kami yang juga juara kelas di sekolah SD nya sekarang�.

Hanya saja, menurut Sukirno hampir tidak ada orang yang mau peduli dengan nasib keberadaan sekolahnya. Semuanya dikerjakan sendiri bersama istrinya, mulai dari mengurus yayasan, administrasi, mengajar semua di lakukan sendiri. �ibarat berjuang mas, tenaga, pikiran dan uang, itu kalau ada saya curahkan semuanya untuk ngurus sekolah ini sendirian saja. tetangga? siapa sih mas yang mau dengan sukarela kalau nggak ada duitnya, sampeyan tahu gimana warga sini sehari-harinya mereka hanya sibuk untuk berusaha memenuhi kebutuhannya�, begitulah Sukirno menggambarkan keseharian para tetangga yang sekaligus menjadi orang tua murid-muridnya yang sehari-hari menempati rumah petak di tanah Yayasan Makam Dukuh Kupang.

Ketika di singgung untuk mengajukan dana bantuan ke pemerintah pak guru Sukirno mengaku tidak tahu cara pengurusannya, apalagi status sekolah yang di kelolanya pun hanya sebatas ijin pemberitahuan ke kecamatan namun Sukirno juga mengaku bersyukur bahwa di tahun 2006 yang lalu dirinya mendapat insentif dari Diknas sebesar Rp 345.000 / 3 bulan. Namun tahun 2007 ini menurutnya masih dalam proses pengajuan ke Diknas.

sumber: http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=81

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.

sumber: http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=148709

Ketika Anak Memiliki Sahabat Imajiner

Anak pada dasarnya senang bermain dengan mainannya. Oleh karena itu, anak tidak ingin kehilangan waktunya sedikit pun untuk bermain. Bermain bagi anak adalah sebuah kisah kehidupan yang harus dinikmatinya. Oleh karena itu, orang tua tidak perlu khawatir dengan sikap dan perilaku anak yang senang bermain di usia dini. Justeru bermain di usia dini merupakan sarana yang ampuh untuk mengembangkan segenap potensi dirinya.

Terkait dengan aktivitas anak yaitu bermain, ada satu hal yang ingin dibicarakan bahwa dalam hal bermain anak sering mencari dan membutuhkan sahabat imajiner. Dengan sahabat imajiner anak bahkan merasa nyaman dan
senang. Kita mungkin tidak tahu sahabat imainer anak, tapi hal itu sering dibutuhkan dan dilakukan anak setiap hari. Bisa jadi kita tidak atau kurang memperhatikan ketika anak sedang bercengkrama dengan sahabat imajinernya. Yang kita tahu anak sedang asyik bermain.

Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud sahabat imajiner? Apakah sahabat dalam arti teman bermain dalam lingkungan keluarga di rumah atau sahabat anak sesungguhnya yaitu teman sebayanya (peer groups).
Boleh-boleh saja kita menafsirkan itu, tapi ada satu hal penting yang harus kita lihat dan dialami dari keunikan anak ini terkait dengan sahabat imajinernya.

Pembicaraan saya ini mengenai sahabat imajiner berawal dari aktivitas saya ketika melihat keponakan saya yang sering bermain. Saya selalu melihat ada keunikan ketika anak asyik bermain entah dengan benda kesayangannya seperti mobil-mobilan, boneka atau yang lainnya yang sering
dijumpai anak. Ada pun keunikan itu adalah pada saat saya melihat keponakan saya bermain mobil-mobilan saya melihat ada suatu proses imajinasi yang sangat luar biasa pada diri anak. Sungguh, sebuah kekuasaan Tuhan yang
harus disyukuri.

Proses imajinasi itu misalnya adalah kebetulan keponakan saya memiliki sebuah mainan truk semen Holcim. Setelah saya perhatikan dia sering mengatakan ingin melihat truk semen Holcim yang sesungguhnya. Suatu hari saya mengajaknya jalan-jalan yang kebetulan banyak sekali truk Holcim yang lalu lalang. Dengan rasa penasaran (curiosity) dan takjub dia melihat dengan nyata truk semen Holcim tepat di depannya. Keceriannya semakin membuncah, saya hanya tersenyum.

Apa yang terjadi? Dia sangat senang dan gembira. Dia mengatakan sangat mirip dengan mainannya yang sering dia mainkan di rumah. Menurut pengamatan saya, keponakan saya benar-benar melihat sesuatu yang sesungguhnya. Itu sesuai apa yang dia imajinasikan pada saat dia bermain truk semen Holcim. Saya berpendapat ada proses psikologi yang berklindan dengan perkembangan pengetahuan anak.

Hal ini dibuktikan dengan kenyamanan anak ketika bermain dengan mainan kesukaannya. Bahkan mainan itu tidak ingin ada orang lain yang menyentuhnya apa lagi merusakannya. Dia akan sedih dan murung karena risau jika sahabat imajinernya ada yang melukainya. Begitu juga dengan boneka yang berbentuk kucing. Mungkin kejadian yang saya alami ini pernah dialami juga oleh para pembaca yang budiman.

Saya teringat dengan Bapak Sosiologi yaitu August Comte yang dengan cermat membagi tiga perkembangan pola pikir manusia menjadi tiga, yaitu tahap teologis, tahap metafisis dan tahap positvis. Saya berpendapat perkembangan psikologi anak dan kemampuan berpikirnya berada pada tahap teologis. Karena sifatnya yang khas yaitu mencoba menggambarkan sesuatu sesuai dengan realitas yang sesungguhnya di ranah imajinatif.

Oleh karena itu, mengikuti pendapat Comte, secara sosiologis anak di usia dini senang bermain dan membutuhkan sahabat imajiner. Senada dengan apa yang dikatakan Piaget tentang kemampuan kognitif anak. Bahwa anak di usia tersebut sedang mengalami pertumbuhan kognitifnya. Dengan
demikian, kita bisa melihat bahwa anak yang bermain pada dasarnya adalah sedang belajar. Hal ini dikatakan dari proses imajinasi yang kreatif dari sebuah alat bermain.
sumber: http://www.family-writing.com/opini/ketika-anak-memiliki-sahabat-imajiner.html/

Berbasis Learning By Doing

Mengenal PAUD
Jauh sebelum konsep pendidikan anak usia dini (selanjutnya ditulis PAUD) ditemukan, dunia pendidikan kita sesungguhnya telah mengenal konsep
pendidikan anak prasekolah. Dasar pemikirannya banyak mengadopsi
tokoh-tokoh pendidikan dari Islam dan Barat yang mengupas persoalan pendidikan anak prasekolah. Pendidikan anak prasekolah sendiri merupakan konsep pendidikan yang mencoba menggali dan mencari model pendidikan yang tepat untuk anak di usia dini.

Menurut Soemiarti (2003) pendidikan prasekolah adalah hal yang menarik perhatian orangtua, masyarakat maupun pemerintah sebagai pengambil keputusan. Mereka menyadari bahwa kualitas masa anak-anak (early chilhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Pandangannya jelas menunjukkan akan betapa pentingnya pendidikan bagi anak yang membutuhkan bimbingan dari guru dan orangtua dalam mewarnai hubungan anak dengan teman sebaya dan lingkungan sosialnya.

Penyelenggaraan pendidikan anak prasekolah telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan anak Prasekolah. Di sahkannya UUSPN tersebut oleh pemerintah sebagai bentuk kepeduliannya akan arti masa prasekolah (3-6 tahun) yang merupakan pijakan awal untuk mengenalkan pendidikan kepada anak usia dini.

Lebih dari lima belas tahun konsep pendidikan anak prasekolah berjalan hingga akhirnya menemukan cara pandang baru tentang pendidikan anak yaitu dengan konsep PAUD pada tahun 2003. Gagasan PAUD pada dasarnya ingin mempertajam kembali konsep pendidikan anak prasekolah sebagai pandangan awal sesuai dengan konteks jaman.

PAUD menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dijelaskan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut.

Sederhananya konsep PAUD adalah konsep pendidikan yang ingin menawarkan kepada masyarakat akan pentinganya karakteristik dan perilaku anak usia dini. Selain itu, juga ingin berbagi beban dalam menyikapi berbagai persoalan yang biasa muncul dan dihadapi orangtua baik di sekolah maupun di rumah berkaitan dengan gangguan belajar yang dialami anak usia dini.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, konsep PAUD saat ini telah menarik perhatian para peminatnya yang berkecimpung di lapangan
pedagogis. Lebih dari itu berdasarkan hasil penelitian penulis di Griya Bukit
Jaya Gunungputri kab. Bogor dari bulan Oktober (2006) - Juli (2007)
berkaitan dengan Pola Asuh Orangtua terhadap motivasi belajar anak usia
dini menunujukkan bahwa pola asuh orangtua sangat mempengaruhi motivasi belajar anak usia dini.

Pentingnya pola asuh orangtua terhadap anak usia dini mengandung arti bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi bagi perkembangan pribadi anak. Orangtua yang mampu menyadari akan peran dan fungsinya yang demikian strategis akan mampu menempatkan diri secara lebih baik dan menerapkan pola pendidikan secara lebih tepat sesuai dengan kebutuhan anak.

Berbasis Learning By Doing

Anak ibarat mutiara dalam lautan. Setiap orangtua yang melahirkannya sudah pasti akan menjaga, merawat dan mendidik sampai dewasa. Anak adalah pribadi yang unik. Oleh karena itu, anak bukan orang dewasa mini. Cara pandang seperti ini meminjam istilah Kak Seto sudah tidak relevan lagi sebab sangat berbeda dengan kenyataan asli orang dewasa. Anak adalah tetap anak-anak bukan orang dewasa ukuran mini. Anak dalam proses tumbuh kembangnya sangat dipengaruhi oleh orang lain dan lingkungannya. Sehingga dalam proses awal belajar anak akan menemui kendala begitu juga dengan pola asuh orangtua. Inilah yang disebut dengan ketidakmampuan belajar (learning disability). Padahal menurut Strauss dan Werner (1942) yang pernah melakukan penelitian ketidakmampuan belajar pada anak usia dini yang dikutip (Lidia, 2003) bukan karena seorang anak tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya, melainkan berawal dari adanya kerusakan sistem syaraf sehingga menghambat proses belajar.

Saat ini, setelah Strauss dan Werner melakukan penelitiannya diawal abad 20 banyak para ahli pendidikan anak prasekolah (usia dini) seperti Dewey, Montessori dan Piaget yang turut berperan dan mempengaruhinya menyumbangkan pengetahun tentang proses berpikir pada anak-anak. Terutama dewasa ini dari hasil pengembangan teorinya banyak mainan anak-anak sebagai media untuk belajar dirancang khusus guna meningkatkan cipta, rasa dan karsa pada anak-anak.

Oleh karena itu, PAUD yang telah digagas memiliki dasar berpijak dari berbagai macam pendekatan dalam pendidikan. Terutama PAUD yang berbasis learning by doing. Artinya proses belajar anak usia dini yang menitik beratkan pada usaha belajar sambil beraktivitas. Aktivitas di sini maksudnya adalah aktivitas yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini yaitu bermain.

Pendekatan ini dilakukan untuk mendukung suasana belajar yang menyenangkan dengan penataan ruang yang representatif. Tentu saja dengan memperhatikan sarana dan prasarana, di tempat mana anak sering bermain, bagaimana posisinya apakah membahayakan dirinya atau tidak. Semuanya dirancang agar motivasi belajar anak tumbuh sesuai dengan kebutuhannya.

Di samping itu, anak usia dini memerlukan kedekatan fisik, kondisi dan suasana yang akrab di mana komunikasi guru di sekolah atau orang tua di rumah sangat membantu proses belajarnya. Sudah saatnya model pola asuh yang otoriter ditinggalkan, sebab akan mengundang kondisi psikologis
anak yang tidak nyaman. Sehingga orangtua akan merasa gelisah karena
anaknya belum bisa mengenal huruf dan belum bisa menulis.

Bermain di sini bukan berarti menerima peran anak apa adanya tapi memberikan kesempatan pada anak untuk berpartisipasi dengan berkomunikasi dan bekerjasama untuk membangkitkan keterampilan sosial dan emosionalnya.

Dengan demikian dari berbagai macam permainan yang ditawarkan seperti melukis, mewarnai, menyusun balok, puzzle, sangat penting diajarkan untuk melatih daya kerja otak pada anak usai dini.Tidak menutup kemungkinan belajar dengan aktivitas bermain akan membangkitkan keterampilan fisik, keterampilan matematis, yang dapat melahirkan keterampilan membaca dan menulis. Dalam konteks pedagogis aktivitas bermain ini tidak sepenuhnya dengan media bermain dan belajar yang mahal, tapi dapat diganti dengan media belajar dan bermain dalam bentuk lain yang mudah dijangkau harganya, tidak berbahaya, menarik perhatian anak serta memotivasi anak untuk belajar.

sumber: http://www.family-writing.com/opini/paud.html/

Belajar Membaca Untuk Anak Usia Dini

Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca.

Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.

Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media belajar membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita. Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “belajar”.

Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar ‘fun’ yang dikembangkan, materi apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

Seputar metode belajar
Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut. Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih mudah memotivasi anak untuk belajar.

Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan.

Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika.

Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.

Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma menjadi orang yang “timpang” jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang “ekstrem” dalam memandang belajar dan cara belajar.

Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)
2. Tidak suka diatur/dipaksa
3. Tidak suka dites

Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka menemukan kesenangan mereka.

Model-model belajar membaca untuk inspirasi

1. Belajar membaca lewat kosa kata
Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata yang akan mereka gunakan dalam berbicara.

Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.

Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung kecepatan anak.

2. Belajar Membaca lewat Suku Kata
Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.

Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan dalam hal tersebut.

Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.

3. Belajar membaca dengan mengeja
Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.

Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.

Belajar Multi Metode

Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.

Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode terhebat sekalipun.

Tersisa dari itu semua, “kita memang tak boleh berhenti belajar”.


sumber: http://www.family-writing.com/opini/belajar-membaca-untuk-anak-usia-dini.html/