Selasa, 31 Maret 2009

Pendidikan Dasar Rapuh

Masalah pendidikan di NTT bukan saja pada hasil ujian nasional (UN) yang kurang memuaskan. Pada tataran guru sekolah dasar (SD), NTT juga sedang menghadapi masalah besar.

"Pendidikan dasar kita rapuh, sekarang lima tahun, 10 tahun kira-kira 30 persen guru SD akan pensiun, atau sekitar 15 ribu yang pensiun. Sementara untuk menggantinya sangat sulit," kata pengamat dan praktisi pendidikan, Drs. John Manulangga, M.Ed.


Berbicara dalam diskusi terbatas bertajuk Menemukan Permasalahan Mutu
Pendidikan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Saat Ini yang digelar di Ruang Redaksi Pos Kupang, Kamis (12/3/2009), Manulangga mengatakan, dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun mendatang akan ada sekitar 30 persen guru SD di NTT yang pensiun atau setara dengan 15 ribu orang.
Masalahnya, tenaga guru SD yang dihasilkan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dalam 10 tahun belum tentu mencapai 10 ribu orang.

Lebih Buruk
Perihal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2009, katanya, bisa menghasilkan hasil yang lebih buruk dari tahun 2008. Bila pada tahun ajaran 2008-2009, semua komponen pendidikan dasar sampai sekolah menengah,bekerja seperti tahun lalu, maka hasil UN 2009 ini akan merosot. Dan, bila komponen pendidikan lebih baik dari tahun lalu, maka hasil UN 2009 akan sama seperti tahun 2008.

Menurut catatan, hasil UN 2008, yakni dari 29.688 peserta UN SMA, tercatat lulus 11.059 orang, sementara yang lulus 18.629 orang atau hanya 62,75 persen. Sedangkan peserta UN SMP tercatat 58.606, namun yang lulus hanya hanya 27.160 atau 46.38 persen saja.

Para pakar dan praktisi pendidikan hadir dalam diskusi yang berlangsung hampir lima jam kemarin. Peserta diskusi antara lain Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Propinsi NTT, Ir. Thobias Uly, M.Si, Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek, Eddy Sulla dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTT dan beberapa kepala sekolah swasta dan negeri tingkat SLTP dan SLTA di Kota Kupang.

Para nara sumber selain John Manulangga, adalah Prof. Dr. Elias Kopong, Ketua Yayasan Swastisari, Sr. Lucie Sumarni, CB, Ketua Forum Ilmiah Guru (FIGUR) SD Kota Kupang, Linus Lusi, S.Pd, serta Evi Basari mewakili orangtua serta Chandra Pali dari SMAK Giovanni Kupang dan Nancy Radja dari SMKN 6 Kupang yang mewakili para siswa.

John Manulangga menjelaskan, bila pada tahun ajaran 2008-2009, semua komponen pendidikan bekerja seperti tahun lalu maka hasil UN 2009 ini akan merosot, dan bila komponen pendidikan lebih baik dari tahun lalu maka hasil UN 2009 akan sama seperti tahun 2008. "Jadi kita harus kerja all out untuk meningkatkan hasil UN 2009 ini," kata mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT ini.

Guru Menakutkan
Sementara, Prof. Dr. Elias Kopong mengatakan, pola belajar yang menjadikan siswa sebagai obyek harus ditinggalkan. Komponen siswa sebagai bagian dari proses belajar dilupakan. "Siswa hanya dianggap sebagai obyek, padahal tidak. Mereka harus diajak terlibat dalam menentukan ke mana mereka mau pergi. Mereka adalah subyek, jangan lupa. Usahakan dalam desain ini yang penting adalah hasil menjadi milik bersama, bukan saja milik kepala sekolah, komite sekolah. Hasil milik bersama, sehingga ada motivasi dan untuk unsur implementasi," jelasnya.

Pelaku pendidikan dan pimpinan Lembaga Pendidikan Generasi Unggul, Pdt. Johni Kilapong pada kesempatan itu mengatakan stigma anak bodoh dan anak pintar sebaiknya dilupakan saja, sebab tidak ada anak bodoh dan anak pintar di dunia ini. Hal yang pelu dilakukan, katanya, adalah menyusun suatu model belajar yang disukai oleh setiap anak.

Pdt. Johni mengingatkan, tidak ada pelajaran yang sulit atau menakutkan. "Yang ada hanya guru yang menakutkan. Jadi kita ubah perilaku mengajar guru yang sangat jahat menjadi lembut dan menarik," jelasnya.

sumber: http://spiritentete.blogspot.com/2009/03/pendidikan-dasar-rapuh.html

Rabu, 18 Maret 2009

nama Q irma manalu...
Q lahir dan dibesarkan dipadang...
tapi waktu q menghabiskan masa kecil dan bersekolah sering berpindah-pindah...
tidak sepenuhnya waktu kecil q habiskan bersa orang tua q...
sejak q berumur 4 tahun Q tinggal bersama kakek dan nenek Q diMedan
setalah waktunya Q bersekolah Q kembali lagi kePadang ketempat orang tua Q...
tapi Q hanya sampai kelas 5 SD saja disana...
kelas 6-1 SLTP q kembali ke meDan bersama kakek dan nenek Q...
tetapi waktu kelas 2 SLTP q kembali lagi kepadang sampai Q menamatkan jenjang pendidikan SLTP...

SMA q kembali lagi bersekolah diMedan,tapi Q tidak bersama dengan kakek dan nenek Q lagi...
karena kakek dan nenek Q sudah meninggaL dunia...
kami anak-anak orang tua Q semuanya memang menyelesaikan studi untuk jenjang SMA tidak didepan orang tua,karena lingkungan ditempat orang tua Q memang tidak mendukung...
lingkungan ditempat orang tua Q tinggal sangat memprihatinkan,disana pentingnya pendidikan tidak pernah ditanamkan oleh orang tua mereka.
bagi orang tua mereka apabila anak sudah bisa mencari sesuap nasi...
yah orang tua mereka sudah melepaskan tanggug jawabnya...
tapi q beruntung sekali punya orang tua yang selalu menanamkan tentang artinya pendidikan kepada kami sejak kecil..
sehingga kami tidak terpengaruh oleh keadaan lingkungan disekitar kamim tinggal...

Q sejak kecil mempunyai cita-cita menjadi guru,karena jasa-jasa guru kepada pendidiknya tidak dapat dibalas dengan apaun...
guru itu memberikan ilmu kepada muridnya yang mana pemberian guru tersebut tidak dapat miliki oleh orang lain.

setelah lulus SMA cita-cita mulia ntuk menjadi seorang guru akhirnya tercapai...
untuk mewujudkan impian dan cita-cita,Q harus melanjutkan studi Q di salah satu universitas negeri yang ada diJakarta.

Rabu, 11 Maret 2009

Seminar Deteksi dan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa

(Medicastore) Sabtu, 3 Maret 2007 lalu bertempat di Auditorium Indosat, Jakarta, diselenggarakan Seminar Deteksi dan Pendidikan Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (gifted & talented children). Selain seminar, diadakan juga peresmian Forum Komunikasi Gifted & Talented Children Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) dan peluncuran buku tentang anak berbakat dengan disinkronitas perkembangan “Anakku Terlambat Bicara, Memahami dan Mengasuhnya” oleh DR. Julia Maria Van Tiel.

Pembicara dalam seminar ini, antara lain:

  1. Adi D Adinugroho, MA, Ph.D candidate, Special Education Specialist, Purdue University, USA.
  2. Dr. Soejatmiko, Sp.A, M.Si, Kepala Divisi Tumbuh Kembang Anak RSCM/FKUI & Ikatan Dokter Anak Indonesia.
  3. Dr. Indah S Widyahening Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  4. DR. Julia Maria Van Tiel, Pembina kelompok diskusi orangtua anak berbakat, anakberbakat@yahoogroups.com.

Dan sebagai moderator yaitu dr. Bayu Prawira-Hie.

ki-ka: dr. Soejatmiko; dr. Bayu; Dr. Rachmat; Adi Nugroho, MA.

Seminar yang dihadiri lebih dari 150 peserta yang terdiri dari orang tua, guru, dokter, dan pemerhati masalah anak gifted-talented ini mengundang Direktur PSLB Mandikdasmen Depdiknas RI yang diwakili oleh Drs. Sutji Harijanto, MM, MPd yaitu Kasubdit Pelaksana Kurikulum Direktorat Pembangunan Sekolah Luar Biasa Mandikdasmen RI.

Drs. Sutji mengatakan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan berkecerdasan istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran yang berbeda dari pendidikan normal.

Hal ini telah dituangkan dalam Sisdiknas No. 2 tahun 1999 yang diimplementasikan berupa program akselerasi percepatan belajar untuk yang berkemampuan kecerdassan istimewa . Bahkan saat ini sudah terdaftar 54 sekolah yang memiliki program akselerasi.

Menurut Dr. Adi D Adinugroho, definisi gifted talented (GT) bisa berupa anak cerdas berbakat atau anak luar biasa yang disebabkan unsur genetik, dan adanya ketidakseimbangan pertumbuhan meskipun memiliki IQ tinggi.

Namun, saat ini terjadi perubahan paradigma dari profil GT yang sudah tertanam di masyarakat. Hal ini dikarenakan tingginya angka drop out anak GT di sekolah, banyaknya problema baik akademik, sosial, emosi maupun perilaku pada anak-anak GT.

Selain itu, anak GT juga telat bicara, tidak harus bisa membaca, cenderung emosional meskipun memiliki daya analisis yang kuat. Karena tidak dimengerti oleh sekolah, anak-anak GT dimasukkan ke kelas emotional behavior.

Dunia pengetahuan baru mengetahui 5% tentang dunia GT. Di Amerika, tidak dilakukan tes untuk mendeteksi bakat pada anak di bawah umur 6 tahun karena mungkin bisa terjadi dual condition misalnya gifted dan ADHD (attention deficit- hyperactivity disorder) sekaligus.

“Di Indonesia, seorang dokter cepat sekali memvonis anak menderita autisme hanya dalam waktu beberapa menit, maksimal 45 menit,” ungkap Dr. Adi. Padahal untuk bisa menentukan seorang anak autis atau tidak membutuhkan tes selama 2 minggu.

Pendeteksian GT di Amerika, meliputi pemantauan tumbuh kembang, formal referral, assessment, pelayanan berfokus preventif, pelayanan pendidikan khusus, dilakukan sealami mungkin sesuai dengan tempat anak hidup kemudian transisi ke dunia sekolah.

Sistem pendidikan yang tersedia untuk anak GT di Amerika berupa sekolah khusus, percepatan kurikulum, dan percepatan kelas. Untuk model pelayanan yang disediakan berupa kelas khusus, kelas inklusi penuh dan kelas inklusi tidak penuh.

Keberbakatan pada anak perlu dideteksi dan diintervensi secara dini menurut Dr. Soejatmiko, Sp.A(K), M.Si. Hal ini dikarenakan kualitas generasi penerus tergantung kualitas tumbuh kembang anak terutama batita (bayi 0-3tahun). Bila deteksi terlambat, maka penanganan terlambat dan penyimpangan sukar diperbaiki.

Dokter spesialis tumbuh kembang berperan dalam deteksi penyimpangan pertumbuhan, perkembangan dan perilaku anak. Namun, dari 2000 dokter spesialis anak di Indonesia, spesialis tumbuh kembang anak hanya 30 orang.

Meskipun demikian, tugas dokter spesialis tumbuh kembang dalam mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dilakukan oleh bidan, perawat, dokter spesialis anak maupun dokter umum di puskesmas.

“Stimulasi pada anak itu penting agar tumbuh kembangnya optimal,” ujar Dr. Soejatmiko. Caranya mudah misalnya sambil menyusui, anak diajak bicara, ditatap matanya, disentuh dan diayun, sehingga sinaps menjadi semakin kuat yang kemudian merangsang kecerdasan lebih luas dan tinggi. Cara lain yaitu dengan mendongeng sebelum anak tidur agar imajinasi anak berkembang.

Ada 4 cara skrining deteksi dini penyimpangan perkembangan, yaitu:

  1. Tanya perkembangan anak dengan KPSP (kuesioner pra skrining perkembangan) mulai umur 3 bulan.
  2. Tanya pendengaran anak dengan TDD (tes daya ingat) mulai umur 3 bulan.
  3. Tes penglihatan anak dengan TDL (tes daya lihat).
  4. Tanya gangguan perilaku dengan KMME (kuesioner masalah mental emosional), CHAT (checklist autisme in Toddler) dan Conners untuk gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas.

Peran lain yang diemban oleh dokter spesialis anak tumbuh kembang adalah menjadi konsultan/trainer skrining untuk perawat, bidan, dokter umum, dokter spesialis anak lain. Kemudian dokter tumbuh kembang melakukan skrining lanjutan seperti ASQ (age & stages questionare), Denver II, BINS, Bayley III scale for infant and Todler.

“Sukar mengukur keberbakatan pada anak dengan keterlambatan perkembangan, “ ungkap Dr. Soejatmiko. Umumnya keterlambatan perkembangan dan gangguan perilaku yang terdiagnosis. Diperlukan kesepakatan assessmen multiprofesi dalam mendeteksi keberbakatan dengan disinkroni.

Pola pengasuhan orangtua/keluarga terhadap keberbakatan dengan disinkroni memerlukan pelatihan khusus. Demikian juga dengan metode pendidikan yang khusus lengkap dengan pendidik yang telah mendapatkan pendidikan khusus. Dr. Soejatmiko mengusulkan agar dibuat kelas tanpa label tertentu di SLB.

ki-ka: Dr. Indah S; dr. Bayu; Adi Nugroho, MA; DR. Julia Maria.

DR. Julia Maria Van Tiel menceritakan pengalamannya mengasuh dan pendidikan anak berkhususan dengan disinkronitas perkembangan di Belanda. Belanda adalah salah satu negara di Eropa yang mempioniri pendekatan pendidikan anak-anak gifted yang mempunyai masalah dalam perkembangan, perilaku, sosial emosional, prestasi rendah serta masalah yang berkaitan dengan gangguan belajar.

“Sangat sulit untuk membedakan gifted yang plus dengan yang mengalami maturity delayed seperti keterlambatan bicara ,” ungkap DR Julia. Hal yang khas adalah terjadinya lompatan perkembangan seperti motoriknya sangat cepat. Anak tidak melalui fase merangkak tapi langsung bisa lari. Di Belanda disebut lompatan perkembangan yang mengalami disinkronitas dan overexitibility.

Sensorynya juga terlalu kuat atau sensitif, misalnya label baju harus dipotong karena mengganggu. Semakin tinggi intelegensinya, risiko anak bermasalah juga semakin tinggi, tambah DR. Julia.

Dalam menanganinya tidak bisa hanya satu profesi misal dokter, psikolog, psikiater, atau pedagog saja melainkan harus multiprofesi dengan melibatkan orang tua. Dibutuhkan pilar penunjang yaitu dokter tumbuh kembang dan dokter sekolah.

Dokter sekolah bukan dokter yang berpraktek di sekolah tetapi dokter yang membawahi beberapa sekolah dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak sekolah mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan.

Di Belanda ada lembaga bantuan pedagogi psikologi (psychoeducational assessment center) yang berfungsi menilai karakteristik anak dalam menerima pembelajaran karena ada cara mengajar khusus untuk anak yang bersifat visual spatial learner. Psychoeducational assessment center juga memberikan bimbingan kepada guru kelas, orang tua dan murid.

Lembaga ini merupakan lembaga yang sangat penting dalam sistem pelayanan pendidikan yang akan senantiasa membimbing orang tua dalam rangka pengasuhan di rumah, membimbing guru kelas dalam rangka strategi pendidikannya di dalam kelas. ”Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia perlu menuntut pemerintah agar lembaga tersebut ada di Indonesia,” kata DR. Julia.

“Berbagai masalah perilaku pada anak seringkali teridentifikasi setelah anak tersebut mulai mengikuti kegiatan di sekolah,” ungkap Dr. Indah S Widyahening. Sekitar 20% anak usia sekolah mengalami gangguan perilaku dan setengahnya berupa gangguan dalam pemusatan perhatian atau hiperaktivitas.

Untuk dapat mencapai kemampuan akademik yang baik di sekolah seorang anak perlu memiliki kesiapan bersekolah yang meliputi beberapa aspek yaitu kesehatan dan kesejahteraan fisik, kompetensi sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, serta kemampuan berkomunikasi dan pengetahuan umum.

Seorang dokter sebagai penyedia layanan kesehatan bersama-sama dengan berbagai pihak terkait lainnya memegang peranan penting dalam membantu seorang anak mencapai kesiapan bersekolah.

Semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan dan perilaku yang dapat menghambat pembelajaran di sekolah memerlukan adanya tenaga dokter yang khusus menangani hal tersebut yaitu dokter sekolah.

Untuk deteksi dan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (gifted & talented children) di Indonesia dibutuhkan kerjasama multidisiplin dan juga dari pemerintah termasuk Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan.

Seminar ini menekankan pentingnya anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa dapat dideteksi lebih dini sehingga dapat cepat ditangani. Hal yang krusial lainnya adalah seringnya anak-anak tersebut ditolak di sekolah “normal”. Padahal sudah merupakan hak setiap warga negara untuk dapat mengenyam pendidikan di negara tercinta ini.

Semoga ada harapan bagi anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa untuk mendapat tempat di sistem pendidikan di Indonesia.

sumber: http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1821

PK/PLK Persiapkan SLB Masa Depan Unggul dan Profesional

Kegiatan peningkatan mutu PK/PLK (Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus) di lingkungan Subdis PLB untuk tahun 2008 ini dilaksanakan dalam bentuk pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dan Peningkatan Sarana Prasarana Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pelaksanaan peningkatan sarana dan prasarana SLB akan dilaksanakan di 26 Kab/kota. Artinya di tiap kab/kota ada SLB yang mendapatkan dana peningkatan sarana dan prasarana, kata Pejabat Pemuat Komitmen, Drs HMA Welid MMPd kepada Pelita baru-baru ini.
Sedangkan USB, menurut Welid, direncanakan dibangun di Kab Banjar, mengingat pemda setempat sudah menyatakan kesanggupan untuk menyediakan tanah. Sekarang ini, lanjut Welid, sebutan kegiatannya bukan lagi perluasan dan peningkatan mutu PLB tetapi kegiatan Perluasan dan Peningkatan Mutu PK/PLK.
Substansinya tidak berbeda, tetapi sasarannya yang sedikit berbeda. Kalau sebelumnya sasaran layanan pendidikan lebih diarahkan pada anak-anak yang memiliki cacat fisik dan mental seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Sedangkan sekarang ini lebih diarahkan pada seluruh anak yang berkebutuhan khusus misalnya anak yang terkena bencana alam yang perlu layanan pendidikan, anak-anak pengungsi, dan anak-anak yang mengalami kelambatan belajar. Namun kami mengakui kegiatan ini belum dapat menyentuh semua stakeholder, paparnya.
Untuk itu dilakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang memiliki kaitan layanan pendidikan khusus. Dengan Depsos juga dilakukan koordinasi meski belum sampai pada tahap adanya MOU dan legal aspek tertulis. Koordinasi itu baru sebatas kontak-kontak tidak resmi, kata Welid yang juga sebagai Ketua DKM Masjid Baitussolihin, Disdik Jabar.
Ketika ditanyakan sasaran jumlah anak berkebutuhan khusus yang akan terlayani pendidikannya pada tahun 2008 ini, Welid mengatakan tidak ada penetapan jumlah sasaran karena untuk penjaringannya perlu dana dan tenaga yang tidak kecil. Masalahnya, untuk penjaringan anak berkebutuhan khusus diperlukan tenaga dari mulai tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai ke desa-desa. Padahal jumlah desa di Jawa Barat mencapai 500.000 lebih. Jadi bisa dibayangkan berapa jumlah dana untuk penjaringan itu, sementara dana yang kita miliki masih terbatas, katanya.
Dilakukan penjaringan
Kepala Subdin Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Drs H Nondi Hidayat MPd MM, kepada Pelita Selasa (10/6) mengatakan, penjaringan yang dilakukan sampai sekarang masih dilakukan oleh guru-guru SLB setempat.
Guru-guru ini sangat besar dedikasinya. Dengan kemampuan dan keterbatasan dana pribadi, mereka melakukan penjaringan. Masa-lahnya, para guru-guru ini juga khawatir kalau SLB di tempatnya mengajar tidak ada siswa.
Dijelaskan juga, penjaringan memang perlu dilakukan terutama di desa-desa. Sedangkan di perkotaan sebagian besar orang tua sudah memiliki kesadaran dan tidak malu lagi untuk menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus untuk disekolahkan di SLB.
Ketika ditanyakan soal jumlah guru SLB di Jawa Barat, dikatakannya, rasio perbandingan siswa guru masih 5:1, dan kondisi ini masih jauh dari kebutuhan.
Kekurangan yang ada sekarang masih sekitar 900-an guru SLB terutama guru-guru yang berstatus PNS. Karenanya tahun ini Pemprov Jabar sudah mengangkat Guru Bantu Sekolah (GBS) menjadi CPNS, meskipun kebutuhan guru masih juga belum memadai. Kita juga terus mengajukan soal kebutuhan ini ke pemerintah pusat.
Soal kualifikasi guru SLB juga disinggung oleh Welid, dikatakan umumnya guru-guru SLB sekitar 98 persen masih terdiri dari lulusan PLB. Baru tujuh orang lulusan non PLB yang sekarang mengajar di SLB yairu jurusan bahasa dan sastra Indonesia, PPKN, dan guru bidang studi lainnya.
Padahal untuk SLB diperlukan juga guru bahasa Inggris, matematika dan guru olah raga. Untuk itu di tahun-tahun mendatang upaya menempatkan guru non lulusan PLB untuk mengajar di SLB akan terus dilakukan agar pendidikan di SLB lebih profesional.
Saat ini upaya ke arah itu sudah dimulai. Tapi yang sekarang dilakukan masih pada upaya memberikan pelatihan bagi guru-guru SLB untuk bisa mengajar bahasa inggris, matematika, dan olah raga yang dilakukan oleh Balai Pendidikan Guru SLB

sumber: http://www.hupelita.com/baca.php?id=50863

Pendidikan Layanan Khusus

Betapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.

Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.

sumber: http://pelangi.dit-plp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=602&Itemid=206

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.

sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.
sumber: http://www.cyberforums.us/showthread.php?p=103855

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.
sumber: http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.

Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.

Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.

Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.

Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.

Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.

Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.

Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.

Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.

Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.

Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.
sumber: http://www.indofamilybisnis.com/index.php?option=com_content&task=view&id=569&Itemid=70

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Adapun sekolah-sekolah yang mendapatkan bantuan subsidi adalah sebagai berikut :

  1. SLB Negeri Pembina Kupang

  2. SDLB Negeri Kupang

  3. SLB Asuhan Kasih Kupang

  4. SLB Negeri Oelmasi Kab. Kupang

  5. SLB Negeri Nunumeu Soe

  6. SDLB Negeri Benpasi

  7. SLB Negeri Tenubot Belu

  8. SLB Negeri Rote Ndao

  9. SDLB Negeri Mebung Alor

  10. SDLB Negeri Beru Maumere

  11. SLB/C Bakti Luhur

  12. SLB Negeri Ende

  13. SLB Negeri Bajawa

  14. SLB/A Karya Murni Ruteng

  15. SLB/B Karya Murni Ruteng

  16. SDLB Negeri Tenda Ruteng

  17. SDLB Negeri Waingapu

  18. SLB Negeri Waikabubak

  19. SDN Batuplat 2

  20. TK Terpadu Assumpta

  21. SMP Negeri 1 Kupang Tengah

  22. SMP Negeri 2 Kupang (Akselerasi)

  23. SMPK St. Theresia Kupang (Akselerasi)

  24. SMAK Giovani Kupang (Akselerasi)

  25. SMA Mercusuar Kupang (Akselerasi)

  26. SMA Negeri 1 Kupang

  27. SMA Negeri 1 Kupang Timur

  28. SMP Negeri 1 Soe

  29. SMP Negeri 1 Maumere

  30. SMP Negeri 2 Ruteng

  31. SMAK Setya Bakti Ruteng (Akselerasi)

  32. SMAK St. Fransisikus Zaverius

  33. SMA Negeri 1 Waingapu (Akselerasi)

Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.

sumber: http://www.subdinplbk-ntt.com/2007/index.php?menu=news&id_news=51

Kamis, 05 Maret 2009

Pesantren Awal Bangkitnya Moral Pendidikan

PESANTREN merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain belum berjalan secara fungsional, pesantren menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, mulai dari yang belajar agama, bela diri, mengobati orang sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh, sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah. Semua itu dilakukan di sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai.

Sebagai lembaga sosial, pada umumnya pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar.

Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santrinya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Kanwil Depag Jawa Barat, didapatkan hasil bahwa sampai dengan tahun 2004 terdapat 4.548 buah pesantren yang tersebar di 25 kabupaten/ kota di Jawa Barat. Dari total jumlah pondok pesantren yang berada di Jawa Barat tersebut, sebanyak 7,34% (334 pondok pesantren) berada di Kabupaten Sukabumi dan 44 pondok pesantren atau 0,97% lainnya berada di Kota Sukabumi.

Banyaknya lembaga keagamaan (pondok pesantren) yang berada di Jawa Barat khususnya di Kabupaten dan Kota Sukabumi merupakan potensi yang sangat besar dalam meningkatkan pengembangan masyarakat. Selain dalam pembangunan sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan, pesantren juga dapat memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat, pelayanan kesehatan, pengembangan hukum, dan demokrasi.

Seiring kebijakan otonomi daerah, upaya penguatan dan pengembangan pesantren di daerah menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian bersama. Pemerintah daerah dan legislatif, kini memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih besar sehingga kebijakan dapat langsung menyentuh dunia pesantren. Dengan demikian, pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) senyatanya dapat memberikan dukungan dalam pengembangan dunia pesantren.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangannya harus terus didorong. Pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya. Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah memengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Terlepas siapa yang memulai, hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.

Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selain itu, kebutuhan penataan dan pengadaan infrastruktur pondok pesantren telah berimplikasi terhadap munculnya anggapan misalnya dalam bidang kesehatan bahwa pesantren adalah komunitas yang tidak sehat. Sekalipun perilaku hidup sehat mulai disadari oleh sebagian besar pondok pesantren. Namun, hal itu masih perlu lebih banyak dorongan, khususnya pondok-pondok pesantren kecil yang memiliki pendanaan minim. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.

Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, senyatanya menjadi pertimbangan pesantren.

Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Hal lain juga terjadi karena kurang meratanya akses yang dimiliki antara pesantren yang satu dan yang lainnya. Ketimpangan antar pesantren terutama pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Pesantren kecil yang hanya berbasiskan masyarakat di sekitarnya kian terlihat kurang berkembang, sedangkan pesantren besar sedikit demi sedikit lebih berorientasi pada pengembangan santri yang secara kuantitas bukan berasal dari daerah setempat.

Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Alumni pesantren sebagai output sulit diketahui secara terstruktur dalam dokumen yang dimiliki pesantren. Padahal alumni merupakan aset besar untuk mendorong pengembangan pondok pesantren di masa yang akan datang.

Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.

Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentresi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tiadak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. Keahlian tersebut tentunya yang berkaitan dengan menciptakan kemandirian santri dan masyarakat dalam segala bidang. Dengan demikian, ketika santri selesai melakukan pendidikan di sebuah pesantren, selain ia memiliki wawasan keagamaan yang tangguh, ia juga memiliki kemampuan untuk melajukan sesuatu sesuai dengan bidangnya yang berguna baik bagi dirinya maupun masyarakat.

Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunai pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan semua pihak termasuk pemerintah.

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan daerah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa, sehingga pembangunan tidak tampak hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.


sumber:
http://blog.appidi.or.id/?p=302

Belajar di Sekolah Berasrama, Membentuk Siswa Berkarakter Unggul

Meski mematok biaya tinggi, sekolah berasrama tetap banyak diminati. Terlepas dari kekurangannya, apa saja kelebihan dan keunggulan yang bakal didapat siswa?

Hari masih pagi, para siswa bersiap-siap berangkat ke ruang belajar. Mereka tidak perlu menunggu kendaraan jemputan atau bergegas mencari angkutan umum. Hanya dengan melangkahkan kaki tak sampai ratusan meter, para anak didik itu sudah tiba di tempat belajar. Saat jarum jam menunjuk ke angka tujuh, mereka sudah berada di ruang kelas. Dengan wajah yang masih segar, para anak didik itu siap menerima pelajaran.

Begitulah gambaran keseharian siswa boarding school. Mereka tinggal di asrama yang berada satu kompleks dengan ruang tempat belajar. Belajar pun lebih teratur. Pengajar setiap saat membuka tangan, menerima anak didik untuk mengkonsultasikan pelajaran yang dianggap masih belum dipahami betul. Tak hanya pelajaran, aspek lain dari proses pendidikan anak juga mendapatkan perhatian.

Di SMA/MA Insan Cendekia, Serpong, misalnya. Meski tetap menggunakan kurikulum nasional, tapi ada pengayaan materi pelajaran. Ada penambahan materi yang khas sesuai misi lembaga pendidikan ini. Yakni, menyiapkan calon pemimpin masa depan yang mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi, berdaya juang tinggi, kreatif, inovatif, serta mempunyai landasan iman dan taqwa yang kuat.

Kurikulum diperkaya dengan penguasaan basic knowledge of science and technology serta peningkatan iman dan taqwa. Pendidikan agama, misalnya. Berbeda dengan sekolah umumnya, pelajaran ini diajarkan lebih. Ada penambahan waktu dibanding sekolah umum lainnya. Hal yang sama dilakukan pada pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan komputer.

Selama sepekan, menurut Drs Jafar, Kepala SMA/MA Insan Cendekia, Serpong, proses pembelajaran berlangsung selama 60 jam. Ini berarti, 18 jam lebih banyak dari pada waktu yang ditetapkan dalam kurikulum nasional yang berjumlah 42 jam. Untuk itu, pembelajaran di sekolah berasrama ini dilangsungkan dari pukul 07.00 - 13.35.

Lain SMA/MA Insan Cendekia, lain pula dengan SLTP-SMA Internat Al Kausar, Sukabumi. Di lembaga pendidikan yang menawarkan pendidikan 5 tahun untuk dua jenjang pendidikan (SMP dan SMA) ini, tidak semua materi pelajaran dalam kurikulum diajarkan kepada anak didik satu per satu. ''Materinya yang esensial saja,'' tutur Douglas Prabowono, Direktur Eksekutif Internat Al Kausar.

Materi pelajaran dipilih hanya yang kontekstual. Yakni, pelajaran yang ada kaitan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidak semua materi umum digunakan. Masalahnya, kata dia, setelah dikaji, ternyata ada topik yang berulang. ''Soalnya, kita kan satu paket, SMP dan SMA,'' tuturnya. Untuk kedua jenjang tersebut, proses pendidikan berlangsung selama 5 tahun, bukan enam tahun.

Tak hanya itu. Menurut Douglas, ada pula pelajaran yang diintegrasikan. Misalnya, matematika dengan ekonomi. Toh, meski ada percepatan masa belajar, tapi proses pembelajaran berlangsung tak jauh beda dengan sekolah kebanyakan: dari pukul 07.00 hingga 13.00. Selebihnya, anak didik mengikuti ekstrakurikuler, seperti kegiatan olahraga. ''Kita terapkan belajar tuntas. Jadi, pekerjaan rumah (PR) dikurangi.''

Kurikulum pendidikan dan pembinaan siswa, kata dia, dirancang agar dapat membentuk siswa yang memiliki karakter unggul. Keunggulan tersebut tertuang dalam Dimensi Keunggulan Murid (DKM), yaitu berkepribadian islami, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki keterampilan, kemandirian, dan kepemimpinan. DKM ini dijadikan kualifikasi kelulusan.

Dia mengatakan, Internat Al Kausar memadukan pola pendidikan modern dengan nilai-nilai agama Islam. Selain dimaksudkan menyiapkan anak didik yang berkarakter, berkepribadian islami, dan mengusai iptek, juga pembinaan rohani yang menjadi ciri khas tersendiri. Semuanya terpadu dalam pola pembinaan di sekolah dan asrama.

Dengan pola semacam itu, kata dia, pada akhir masa pendidikan anak didik akan mampu mencapai nilai ujian akhir nasional rata-rata minimal 7,5. Mereka pun mampu menghapal 2 juz Alquran, hadis-hadis, dan doa-doa pilihan. Di samping juga mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris pada tingkat intermediate, bahasa Arab untuk memahami Alquran, mengusai penggunaan komputer, membuat dan mempresentasikan karya tulis, serta mengusai minimal 3 cabang olahraga.

Harapan yang sama juga menjadi target yang akan dicapai di SMA/MA Insan Cendekia. Karena diasramakan, maka selama 24 jam siswa dapat melaksanakan kegiatannya, termasuk aktivitas keagamaan dengan bimbingan penuh dari guru. Pendidikan agama, misalnya, tidak khusus diajarkan oleh guru agama saja, tapi dalam setiap pelajaran apa pun diselipkan pendidikan keagamaan berkaitan dengan materi yang diajarkan.

Dalam segi keilmuan, kualitas akademik dilakukan secara total. Guru tidak sekadar mengajar, tapi juga memotivasi anak didiknya untuk berprestasi dan memiliki daya juang. Ada guru asuh yang membina beberapa siswa, memonitor perkembangan dan kesulitan yang dihadapi anak didiknya. Siswa yang tergolong lemah, diberi pembinaan khusus. Prinsipnya, jangan sampai anak gagal.

Semua itu, tentu saja, harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit. Jumlah yang mesti dikeluarkan, cukup berat dirasakan bagi anak keluarga kurang mampu. SMA/MA Insan Cendekia, misalnya. Jafar menuturkan, uang masuk dipatok Rp 12 juta dan SPP Rp 1 juta per bulan. ''Itu sudah termasuk biaya asrama dan makan,'' tuturnya.

Di Internat Al Kausar, kata Douglas, uang masuk ditetapkan sebesar Rp 20 juta. Beban ini hanya dikenakan sekali untuk satu paket, SMP dan SMA. Setiap bulan siswa dikenakan SPP sebesar Rp 2 juta. Seperti halnya di Insan Cendekia, biaya tersebut sudah termasuk asrama dan kebutuhan lainnya. ''Itu hampir separuh kembali ke mereka,'' dia menjelaskan.

Dengan biaya sebesar itu pun, sekolah ini tetap saja diminati banyak calon siswa. Buktinya, meski ujian akhir nasional di jenjang SMP belum berlangsung, tapi saat ini sudah banyak calon siswa yang mendaftarkan diri. Di SMA/MA Insan Cendekia, menurut Jafar, sudah 151 calon yang mendaftar. Padahal, sekolah ini hanya mampu menerima kurang dari itu, sekitar 120 orang. ''Kita perkirakan sekitar 600 orang pendaftar,'' tuturnya. Sekolah ini tidak mensyarakatkan standar nilai dari sekolah asal kepada calon siswa yang mendaftarkan diri. Calon yang lulus tes, murni berdasarkan hasil seleksi.

Seperti halnya Insan Cendekia, di Internat Al Kausar pun sudah ada calon siswa yang mendaftar. Hingga pekan ini, menurut Douglas, jumlahnya sudah belasan orang. Lembaga pendidikan ini hanya menerima sekitar 60 siswa lulusan SD. Lulusan SMP tidak diterima karena pendidikan dilangsungkan satu paket, SMP-SMA. Bagaimanapun, ini menggambarkan, meski tergolong mahal bagi ukuran orang kebanyakan, tapi boarding school -- nyatanya -- tetap saja diminati banyak calon siswa.



Ada Plus, Ada Minusnya

Pendidikan dengan model berasrama, bukan tidak punya kekurangan. Ada plus, tapi ada pula minusnya. Prof Dr Sutjipto melihat, kekurangan model pendidikan semacam ini karena anak-anak terpisah dari orang tua dan masyarakatnya. ''Itu bisa membuat kehilangan esensi dalam hidup dan kekurangan kasih sayang,'' tutur rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.

Kelebihannya, menurut Sutjipto, anak didik bisa dipantau seharian penuh, selama 24 jam. Tak hanya itu. Dia mengatakan, dengan pembelajaran seperti ini tidak hanya aspek intelektual yang diperhatikan, tapi semua aspek bisa diperhatikan.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tersebut, Sutjipto mengatakan, kalau boarding school dikelola dengan bagus, bisa melahirkan anak didik yang bagus. Sebaliknya, kalau dikelola dengan asal-asalan, hasilnya pun tak jauh dari itu.

Sutjipto melihat, mereka yang memasukkan anaknya ke dalam pendidikan yang dikelola secara boarding school adalah biasanya orang tua yang mampu secara finansial. Namun itu, katanya, bukan berarti mereka mau lepas dari tanggung jawab, tapi lebih karena ingin memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.

Barkaitan dengan hal tersebut, Sutjipto memandang perlunya anak telantar dan anak jalanan diberikan pendidikan semacam boarding house. Ini sejalan dengan amanat undang-undang. Dia mengakui, dengan memberikan pendidikan semacam boarding house bagi-anak telantar, memang membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar. ''Tapi kalau dibiarkan, sosial cost-nya akan lebih banyak dalam jangka panjang,'' ujarnya. bur

Sumber : Republika (26 Maret 2004)

Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah Pilihan Sejarah”

endidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini nampaknya amat begitu diinsafi oleh para designer awal dan founding fathers bangsa ini, hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah UUD ‘45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.

Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.

Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya, terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren (Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).

Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya ‘masyarakat informasi’ (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan ‘ala pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias “kuno”, maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?

Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata ‘adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).

Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadhah ‘ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.

Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren. ?


sumber: http://warnadunia.com/membongkar-tradisionalisme-pendidikan-pesantren-sebuah-pilihan-sejarah-sebuah-artikel/

Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa

PENDIDIKAN multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

Revitalisasi

Pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.

Pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan bangsa.

Era reformasi telah membuka mata kita terhadap semua borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung selama ini. Realitas korupsi telah menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa, karena korupsi ternyata melestarikan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang semakin tajam dan ikut memperkeras konflik sosial. Sementara pendidikan kewiraan, kepramukaan, bahkan keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada. Karena itu, pendidikan multikultural harus direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya.

Konflik dan perubahan

Hakikat kehidupan adalah perubahan, dan jika ada yang abadi dalam kehidupan, maka keabadian itu adalah perubahan. Kehidupan tidak pernah ada tanpa perubahan dan dalam perubahan dengan sendirinya selalu memunculkan konflik, yaitu konflik antara yang akan diubah, pengubah dan kebaruan yang lahir dari perubahan itu sendiri.

Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.

Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.

Kemampuan manajemen politik itu akan ditentukan oleh seberapa jauh dapat menyerap hakikat pendidikan multikultural. Jika tidak, maka manajemen politik akan berubah menjadi manajemen bisnis politik konflik, yaitu menjadikan konflik, sebagai bisnis politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri.

Dalam realitas kehidupan berbangsa, ternyata persatuan mengalami pasang surut. Pada masa menjelang kemerdekaan, maka persatuan bangsa terasa makin menguat dan bergelora di mana-mana, yang kemudian melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan kepada penjajah Belanda untuk merebut dan mendapatkan kemerdekaan. Bahkan, agama pun turut memberikan legitimasinya untuk memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, sebagai bagian dari panggilan agama, karena agama yang mana pun melarang umatnya untuk melakukan penjajahan atas bangsa yang lainnya. Penjajahan dipandang agama sebagai suatu kezaliman yang harus dilawan oleh siapa pun.

Akan tetapi, setelah kemerdekaan sudah dicapai dan sampailah kita untuk menata kekuasaan negara, maka kita pun segera berhadapan dengan usaha membagi-bagi kekuasaan pemerintahan, dan kepentingan membagi kekuasaan ternyata mempunyai kaitan dengan akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan, sehingga muncullah konflik politik kekuasaan yang berbasis fanatisme ras, suku dan keagamaan.

Konflik politik kekuasaan yang mencerminkan ketidak-adilan membuat persatuan bangsa terguncang-guncang, terluka, terkoyak, dan sering kali memperlemah rasa persatuan dan solidaritas kebangsaan.

Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.

Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.

Karena itu, pendekatan kepada manusia dan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang ada, tidak bisa lain kecuali dengan menggunakan pendekatan yang multidimensional. Dan, di dalamnya adalah pendidikan multikultural.

sumber: Kompas, Jumat, 03 September 2004

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.
sumber:http://www.maarif-nu.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14

Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan Pengantar Bahasa Inggris

Isu globalisasi saat ini menuntut sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa asing terutama Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Keahlian berbahasa asing ini diperlukan untuk menguasai ilmu pengetahuan, memiliki pergaulan luas dan karir yang baik. Hal ini membuat semua orang dari berbagai kalangan termotivasi untuk mengusai Bahasa Inggris.

Kecenderungan masyarakat akan penguasaan bahasa asing tersebut, membuat berbagai lembaga pendidikan saling berlomba membuat program yang memasukan Bahasa Inggris sebagai salah satu keahlian yang dikembangkan. Termasuk lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa anak lebih cepat belajar bahasa asing dari pada orang dewasa (Santrock, 313: 2007). Sebuah penelitian yang dilakukan Johnson dan Newport, 1991 (Santrock, 313:2007) menunjukan bahwa imigran asal Cina dan Korea yang mulai tinggal di Amerika pada usia 3 sampai 7 tahun kemampuan Bahasa Inggrisnya lebih baik dari pada anak yang lebih tua atau orang dewasa.

Penelitian lain yang menyatakan kebermanfaatan menguasai bahasa asing lebih dini, dinyatakan Mustafa (2007), bahwa anak yang menguasai bahasa asing memiliki kelebihan dalam hal intelektual yang fleksibel, keterampilan akademik, berbahasa dan sosial. Selain itu, anak akan memiliki kesiapan memasuki suatu konteks pergaulan dengan berbagai bahasa dan budaya. Sehingga ketika dewasa anak akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bisa berprestasi . Mustafa (2007) menambahkan bahwa pemahaman dan apresiasi anak terhadap bahasa dan budayannya sendiri juga akan berkembang jika anak mempelajari bahasa asing sejak dini. Alasannya karena mereka akan memiliki akses yang lebih besar terhadap bahasa dan budaya asing.

Keterkaitan antara bahasa dengan budaya memang seperti dua sisi mata uang. Ketika mempelajari suatu bahasa maka otomatis kita akan mempelajari kebudayaan, nilai-nilai sosial, moral dan kemasyarakatan si penutur bahasa dan setting dimana bahasa tersebut digunakan. Pengaksesan bahasa asing sejak dini akan membuat anak secara otomatis mempelajari budaya masyarakat penutur asli bahasa tersebut.

Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa (2007) dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial. Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang digunakannya Bahasa Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan program pembelajaran dengan pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat berbagai kendala mengingat kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign languange (bahasa asing pertama). Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pada kalangan tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti jika kedudukannya sebagi bahasa kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain itu terdapat juga berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing yang bisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu.

In general, speech-language problems are less likely to occur when both languages are introduced early and simultaneously. There is a greater possibility of problems if children are introduced to a second language during the preschool years after another language was used exclusively. Some people believe that if a second language is introduced before the first language is fully developed, the development of the first language may be slowed or even regress. Others believe that the skill level of the second language will develop only to that of the first.

Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa secara umum terjadi masalah jika anak dikenalkan pada dua bahasa secara bersamaan pada usia dini. Terutama ketika dikenalkan pada usia pra sekolah setelah bahasa ibu sudah sering digunakan. Pendapat lainnya menjelaskan bahwa jika bahasa kedua dikenalkan sebelum bahasa pertama benar-benar terkuasai, maka bahasa pertama perkembangannya akan lambat dan bahkan mengalami regresi. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa bahasa kedua akan terperoleh ketika bahasa pertama sudah dikuasai.

Berbagai pendapat tersebut menjadi permasalahan tersendiri mengenai pembelajaran anak usia dini yang menggunakan Bahasa Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Perlu pengembangan program yang mapan dan berkesinambungan untuk menciptakan suatau program yang memang efektif untuk diteraplan di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia, mengingat kedudukan Bahasa Inggris itu sendiri sebagai first foreign language.

sumber:http://parentingislami.wordpress.com/2008/06/10/program-pendidikan-anak-usia-dini-paud-dengan-pengantar-bahasa-inggris/